“Saya sepertinya banyak sekali melihat dunia. Tapi saya tak peduli seberapa banyaknya itu ketika ada orang yang ada di samping saya. Tempat yang sama tapi selalu berbeda rasa tergantung dengan siapa kita bersama.”
AI _21 Februari 2017
Curug Banyunibo, dingin-dingin sejuk |
Tempat yang jarang dikunjungi, tempat yang sulit dijangkau,
jalan yang belum pantas di sebut sebagai jalan. Sepertinya kalimat-kalimat itu
bukanlah hal yang asing bagi saya. Tapi
hari ini saya nekat. Saya yang biasa blusukan dengan roda dua kali ini
mengambil keputusan dengan jalan menggunakan roda empat. Bukan saya nyombong,
tapi karena beberapa faktor yaitu hujan dan juga penumpang. Kali ini saya tidak
berdua melainkan bersama keluarga. Ecieee....
Hari Senin, eh bukan berarti saya bolos kerja loh ini.
Semenjak saya dipindahkan tempat, saya mendapat jatah libur hari senin. Di mana
semua orang mulai bermalas-malasan menghadapi hari Senin, saya justru
sebaliknya. Bersemangat sekali ketemu hari Senin. Nah loh! Gimana rutinitas
saya tuh nantinya. Saya kali ini bertamasya memanfaatkan hari Senin. Semoga
sepi! Haha
Tapi sepertinya cuaca pagi ini kurang well. Sudah dari
Minggu malam sampai Senin pagi hujan tak kunjung reda. Satu-satunya jalan hanya
bisa menunggu karena tujuan kami tidak akan lengkap tanpa adanya sinar
matahari.
Waktu terus berlalu, jam demi jam terlewati. Sudah pukul
11.00 dan belum ada tanda-tanda akan terang. Padahal kami sudah bersiap, si
kemenakan sudah saya suruh bolos dari pagi (ups), dan kebutuhan sudah ada di
kantong dan tangan. Tidak ada pilihan lagi, terobos atau tidak sama sekali.
Nah, jadilah perjalanan kami dihantarkan oleh hujan. Ah, Allah menurunkan
rejeki bersama dengan turunnya hujan, jadi nggak apa-apa kalau rejekinya pasti
nggak kemana. Pikiran saya.
Berangkatlah kami berdua, Ibu dan Bapak tercinta, kakak dan
juga kemenakan saya untuk jalan-jalan. Arahnya tentu saja tak jelas. Setelah
bermain googling sana-sini sambil jalan kami memutuskan untuk pergi ke Curug Banyunibo yang ada di dusun Sanggrahan 2, Muntuk, Dlingo, Muntuk, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Masih satu kompleks dengan wisata hutan
pinus yang ada di wilayah Bantul.
Kami mengambil rute lewat Pleret dan lurus saja mengikuti
jalan tersebut. Jalan alternatif yang untuk ukuran mobil termasuk sempit dan
berbukit-bukit dilengkapi dengan tanjakan dan tikungan tajam. Lengkap! Belum
lagi ada colt di depan kami yang sempat tidak kuat dan membuat kami yang ada
dibelakangnya dig dug deg serr melihatnya. Kami pikir semuanya sudah selesai,
tapi tidak sampai di situ saja. Tantangan kami berlanjut ketika sudah memasuki desa Muntuk. Jalan yang hanya bisa di lalui satu mobil membuat kami
kesusahan untuk putar arah (oke nyasar itu rumus wajib), membuat kami harus
saling mengalah (dengan mobil lain, sabar dan murah senyum nih orang sekitar
sini pas saling gantian jalan), dan juga menahan nafas ketika jalannya mepet
sekali dengan tebing. Ini kali pertamanya kami memutuskan blusukan dengan roda
empat. Tidak recomended banget rasanya.
Curug Banyunibo Beda Angle |
Sampai di tempat parkir yang ada di rumah warga terdekat
dengan lokasi wisata tiba-tiba aja hujan. Oh God! Untung kami membawa banyak
payung yang akhirnya termanfaatkan. Seperti ciri khas setiap air terjun, kami
harus jalan menurun terlebih dahulu untuk bisa sampai ke bawah. Ibu dan
kemenakan saya tertinggal. Keduanya takut melihat lokasi yang cukup licin.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu. Kami berempat akhirnya memutuskan
untuk melihat situasi terlebih dahulu dan ternyata jalannya termasuk yang tidak
berat menurut saya. Hanya perlu jalan sedikit dan sudah sampai. Padahal
biasanya untuk menuju lokasi air terjun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Setelah fixing kamera, saya kembali untuk menjemput Ibu dan kemenakan.
Air terjun Banyunibo tidak terlalu tinggi, banyak terdapat
batu terjal yang menurut pengamatan saya sangat berbahaya untuk di naiki. Air
terjun ini tidak memiliki spot yang cocok untuk mandi. Dari segi lingkungannya,
terdapat satu gubuk kecil (begitu saya menyebutnya) yang dibangun di atas
sebuah batu dan untuk mengaksesnya
terdapat sebuah jembatan bambu. Selain itu, di sekitar lokasi juga ada rumah
untuk berteduh jikala hujan. Cukup cozy dan asri ditengah lebatnya hutan.
Tempat yang cocok untuk melamun dan membuang kepenatan.
Seperti biasa, ritual saya adalah mengambil foto. Jadi lebih
dari 50% kegiatan kami adalah mengambil foto lantas cabut begitu saja. Kondisi
cuaca yang masih gerimis romantis tidak membuat kami berlama-lama di tempat ini
dan langsung saja kami meneruskan perjalanan kami yang masih panjang.
Waktu saya datang ke sini, saya tidak ditarik tarif masuk
wisata. Saya tidak tahu, apa karena itu
hari Senin yang notabene sepi (cuma ada kami di sana) jadi tidak ada yang jaga
atau memang belum ada. Jadi saya hanya mengeluarkan uang untuk parkir dan itu
saja sukarela. Di tempat ini sudah ada tanda/sign jalan, walau kurang jelas
tapi cukup membantu. Mungkin kedepannya akses ke sana lebih dipermudah dengan
petunjuk yang jelas dan pengelolaan yang pas. Kalau masalah jalan yang diperlu
diperlebar saya tidak terlalu
mempermasalahkan mengingat lebarnya jalan ya cuma segitu.
Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Puncak
Becici. Hujan sudah reda, matahari berlum terlihat, tapi tanda-tanda akan cerah
sudah mulai muncul. Pertanda baik!
Narsis itu Rumus Wajib |
Biar eksis foto lagi, |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar