Senin, 21 Mei 2012

Sampah Penyelamat Jiwa?

Nah, ini salah satu lagi kisah sang sampah yang memberikan manfaat. Sampah yang selalu identik dengan sifat ke negatifannya ternyata juga bisa jadi penyelamat lo... kenapa bisa begitu? Kali ini saya hanya menjadi penyambung lidah saja. 
ceritanya suatu hari, teman saya yang memang masih abal abal ini iseng-iseng jalan-jalan ke hutan di daerah kaliurang. Niatnya sih  jalan-jalan, tap entah asal punya usul tiba-tiba aja mereka itu "ilang". Nah lo, mana nggak bawa bekal dan nggak bawa air minum. Weleh-weleh, nganterin nyawa bener ya kali ni anak. Setelah hampir takut dan putus asa, tiba-tiba mereka berdua menemukan jejak manusia. Jejak? ya Jejak itu adalah sampah dari pengunjung lain yang mengunjungi hutan itu. ditelusuri terus tuh,,, nah akhirnya sampai dipintu keluar. Hahaha...
cerita yang sedikit miris sih..
Memang kali ini sampah jadi penyelamat mereka, tapi di sisi lain, kok di hutan banyak sampahnya ya? Wah perlu ditinjau lagi nih.... 

Jumat, 18 Mei 2012

OPINI: apakah jika saya menyukai SUJU berarti saya maksiat?


Ini tentang ELF dan SUJU,,,
     Sebelumnya saya meminta maaf bila ada yang kurang setuju dengan pendapat saya. Tapi saya sebagai ELF juga merasa sedikit teganggu dengan munculnya berbagai artikel negatif setelah kabar dan terselenggaranya SS4 di Jakarta, INA.
     Saya sedikit menyayangkan kenapa fenomena tiketing yang “heboh” itu membuat orang-orang lalu mengecap SUJU dan ELF itu sebagai orang-orang yang melakukan kemaksiatan, ataupun mengkaitkannya dengan keagamaan. Tapi yang saya pertanyakan kenapa SUJU? Bukankan banyak orang yang juga rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk  sekedar menikmati apa yang mereka sukai? Bukan hanya SUJU kan yang mengadakan konser di INA? Kenapa penulis artikel itu hanya membahas SUJU, padahal ketika fenomena ini dibahas secara universal mungkin akan membuat lebih banyak orang mengerti dan juga memahami. Tapi ketika ini hanya membahas satu golongan, ini bisa saja menjadi salah satu akar perpecahan di negeri yang kita banggakan sebagai bangsa yang “multikultural”. Bukankah suatu fenomena yang miris ketika kita mengagung-agungkan multikultur tapi pada kenyataannya kita tak menghargai perbedaan itu? Mungkin saya orang yang apatis jika menanggapi ini. Tapi sekali lagi ini adalah PENDAPAT saya pribadi.
     Heran juga dengan tanggapan tentang mereka kafir dan lain sebagainya. Saya sedikit tidak mengerti. Padahal ketika saya memutuskan untuk menyukai SUJU karena banyak hal dan juga banyak pertimbangan. 
     Saya menyukai sifat salah seorang SUJU(pasti kalian tau siapa), karena ia adalah seorang yang ta’at pada agamanya, ia selalu menyempatkan diri untuk selalu berdoa dan beribadah ditengah kesibukannya. Membaca Bible-nya setiap hari dan bahkan masih sempat-sempatnya mengajak member lain untuk beribadah. Seharusnya ini dijadikan pelajaran, bukan sebagai cacian. Mungkin kami berbeda agama, tapi ini menjadi renungan dan menjadi motivasi, apakah saya sesempat dia untuk beribadah? Kalau ia yang benar-benar sibuk bisa, kenapa saya yang masih kuliah ini masih tak sempat untuk melakukan apa ia lakukan? Sungguh ini menjad cermin bagi diri saya.
     Mari berlajar dari Eunhyuk, dalam grup dia member yang selalu dibohongi dan dijahili oleh member lainnya. Tapi pernahkah ia marah? Tidak, karena ia tau member-member itu menyayanginya apapun yang terjadi.  Lalu kembali saya bercermin, apakah saya sebaik hati itu? Apakah saya tidak akan mendendam dan apakah saya mampu untuk memaafkan orang-orang yang menyakiti saya?
     Sekarang kita melihat pada Sungmin atau lainnya, ketika ia menjadi laki-laki tapi di sisi lain mereka harus berpenampilan layaknya wanita dan berbagai sifatnya, apakah lantas mereka menyerah dan mundur? Dan tentunya saja tidak karena mereka adalah orang yang profesional. Lantas apakah memang ia banci? Itu hanya sebutan untuk mereka yang sirik dan tidak tau, mana ada banci yang begitu dikagumi, banci yang pandai memainkan alat musik apapun, banci yang mahir bela diri, dan banci yang disukai wanita? Tidak ada karena sekali lagi mereka semua adalah sosok-sosok yang sangat profesional dengan pekerjaanya. Lalu apakah kita sudah seprofesional itu? Apakah saya sudah menjadi orang yang sudah bersungguh-sungguh dengan pekerjaan saya? Sungguh saya sangat malu ketika tugas kuliah saya banyak, saya hanya bisa mengeluh dan menumpuknya, hingga saya sendiri kepayahan.  Itu yang menjadikan cerminan diri lagi dan lagi.
     Lantas ingin belajar dari siapa lagi kita, Donghae? Leeteuk? Atau yang lainnya karena tadi itu hanya sedikit contohnya. Karena saya menyadari bahwa saya juga masih dalam proses belajar, dan belajar dari pengalaman orang lain itulah yang paling mudah.
     Dan yang saya tanyakan, apakah saya termasuk dalam orang-orang yang Ingkar padaNya?
     Lantas kenapa  masih saja ada yang memandang mereka dari satu sisi saja? Banyak yang ingin saya sampaikan. Tapi itu tidak akan berati untuk saya. Yang jelas, Indonesia sendiri mengakui enam agama. Indonesia multikutur.  Ayolah, kita memang wajib hidup untuk dunia nanti. Tapi kita juga hidup untuk dunia sekarang. Agama saya juga mengajarkan bahwa hubungan itu ada vertikal dan juga horisontal, tidak sepantasnya kita memiliki rasa “primodialisme” yang tinggi dan justru menimbulkan perpecahan antar agama. Agama adalah urusan pribadi antar manusia.  Daripada mengkaitkannya dengan konser yang berjalan dengan lancar dan sudah berlalu tanpa kekerasan tersebut, kenapa malah tidak mengurusi peperangan yang terjadi di negeri ini? konfik antar suku, konflik antar agama, dll. 
     Dan untuk para ELF, mungkin kasus ini bisa jadikan pelajaran bagaimana kita memandang SUJU, bagaimana kita menghargai dan menjaga diri kita. Jangan melakukan apapun tindakan yang membuat perpecahan di negeri kita, selalu berfikir positif, karena kita adalah bangsa yang selalu menghargai perbedaan. 
Araso?

Rabu, 16 Mei 2012

Renungan Sang Waktu

MELIHAT DARI SISI LAIN (2)

Waktu?
Suatu kata yang sudah tak asing dengan kehidupan kita sehari-hari...
Waktu?
Sebuah kata yang sebenarnya "spele" dan kadang "tidak" penting dalam otak kita tapi memiliki jutaan makna yang sangat luar biasa....dan saat kita tersadar akan waktu,, yang jadi pertanyaan, berapa lama waktu yang telah kita habiskan? Apakah semuanya itu sia-sia? Atau apa justru semuanya itu berarti dan bermakna?
Coba pikirkan waktu itu, sebentar saja....
Sampai tulisan ini mengalir dalam sebuah kata-kata pun, aku msih berfikir tentang waktu itu... 
Waktu yang kita miliki sangat terbatas. Kenapa? Karena ketika aku tersadar hari ini sudah hari Rabu, padahal ingatanku tentang Rabu minggu lalu masih terasa segar dan belum lama. Hal ini memang karena hari yang berjalan tanpa sepengetahuan kita apa aku terlalu membuang waktuku untuk hal yang tidak berguna?
Waktu yang kita miliki terasa sangat singkat. Ya, ketika kita berbahagia, kita merasa kebahagiaan itu hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan hidup yang kita miliki. Apakah karena waktu yang kugunakan untuk bersyukur sangatlah pelit?
Waktu sangatlah jahat. Masa-masa sakit itu membuat waktu berjalan seakan mencekik dan menarik kita dalam sudut hitam yang diliputi seluruh kehancuran. Tapi, apakah itu salah waktu? Atau waktuku untuk mencoba ikhlas yang kurang banyak?
Waktu sering datang tidak sesuai dengan harapan. Waktu yang kita miliki tidak pernah pas dan sesuai keinginan. Tanpa sengaja menempatkan kita pada posisi sulit dan tidak menyenangkan. Kembali aku berfikir, apa memang ini waktuku untuk sadar, atau waktuku untuk bersabar yang kurang?
Waktu kadang membuat kita menjauh dari orang-orang yang kita sayang. Apakah karena waktu membenci kebahagian kita atau waktu membuat waktu  kebersamaan indah pada waktumya? 
Waktu kadang seakan memojokkan kita. Lalu aku hanya bisa berfikir, apa memang waktu yang kita miliki tidak pernah tepat atau waktu aku memilih waktu itu yang kurang tepat?
Dan masih banyak waktu-waktu lain yang bisa bermunculan dan membuat hidup kita terasa berat dan tidak adil. Tapi sekali lagi, apa waktu yang membuat kita merasa seperti itu atau kita sendiri yang membuat waktu menjadi seakan-akan tidak pernah berpihak pada kita.

Pertanyaan itu jawabannya ada ada diri kita masing-masing, karena jika itu kesalahan waktu, kenapa masih ada pernyataan "Waktu yang akan menyembuhkan segalanya"???
Sungguh waktu yang kita miliki sangat berharga, karena setiap kali kita terjatuh dan terluka waktu akan menyembuhkannya. Dan selalu  "terbaik" pada setiap perbuatan itu yang melandasi niat dan perbuatan kita. Selebihnya, kembali waktu yang kan menentukan segalanya....

Minggu, 13 Mei 2012

Sedikit Resensi : Bidadari Bidadari Surga Tere-Liye


KEPAKAN SAYAP
BIDADARI BIDADARI SURGA

Judul Buku                : Bidadari-Bidadari Surga
            Pengarang                 : Tere-Liye
            Penerbit                    : Republika
            Tahun terbit               : Cetakan IV Agustus 2009
Ukuran buku             : 20.5 x 13.5 cm
Jumlah halaman         : 368
Harga                        : Rp 47.500,00
           

Tere-Liye adalah sebuah nama yang diambil dari bahasa India yang berarti “untuk-mu” nama aslinya adalah Darwis. Tere-Liye lahir 21 Mei 1979. Lelaki yang juga dosen ini telah menulis novel yang tak jarang menjadi best seller di Indonesia seperti Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah dan Bidadari-Bidadari Surga ini adalah salah satu dari 10 karyanya.  
Cerita ini dimulai dari kehidupan lima bersaudara yaitu Laisa, Dalimunte, Ikanuri, Wibisana dan Yashinta di Lembah Lahambay bersama Mamak Lainuri. Setelah ayah mereka meninggal, Laisa yang bukan anak kandung Mamak mengabdikan hidupnya untuk adik-adiknya dan lembah Lahambay. Dalimunte yang menjadi seorang Professor, Ikanuri dan Wibisana yang memiliki perusahaan spare part terkenal, dan Yashinta yang menjadi ilmuan tak luput dari figure seorang Laisa . Sungguh janji-janji kehidupan yang lebih baik itu kini tak hanya sebatas mimpi. Laisa sendiri telah mengubah lembah itu menjadi perkebunan strawberry dan membuat kehidupan di lembah Lahambay menjadi lebih baik.
Kisah-kisah perjuangan hidup Laisa diungkapkan secara memukau dalam 44 bab. Di dalamnya menggambarkan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terwujudnya kehidupan yang lebih baik di lembah itu karena tekad dan perjuangan Laisa. Seperti pada bab Lima Kincir Air pada bab ini mengisahkan tentang keberanian Laisa mendukung ide Dalimunte yang waktu itu masih SD untuk mendirikan kincir air di atas bukit cadas setinggi 5 meter. Ide yang ditolak oleh seluruh penghuni lembah, ia meyakinkan mereka tak peduli oleh rasa gugup dan gentarnya. Ia telah bertekad Laisa tak akan membirkan adik-adiknya kecewa dan malu, jika ada yang harus meresa kecewa dan malu itu adalah ia, bukan adik-adiknya. Adik-adiknya berhak atas masa depan yang lebih baik daripada dirinya (hal. 92)
Begitu banyak masalah yang harus dihadapi Laisa, mulai dari tak seorang pun yang mau menikahinya, gunjingan orang-orang tentang ia yang dilintasi adik-adiknya, tentang penyakit kanker yang di deritanya dan masih banyak lagi dan semua itu hanya dijawab Laisa dengan senyuman dan keyakinan bahwa hidup, mati, dan jodoh ada di tangan Allah. Ya, Laisa tak pernah keberatan dengan takdir kehidupannya (hal. 221)
Selain itu novel ini juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang patut dijadikan teladan. Seperti novel-novel Tere sebelumnya, pembaca seolah-olah diberi pelajaran untuk selalu ikhlas, tabah, dan kuat dalam menjalani kehidupan. Dalam penggunaan bahasa yang komunikaif itu pula ia juga mengajarkan kita untuk selalu bekerja keras dan menghargai arti pentingnya sekolah dan pendidikan. Selain itu, Tere juga menyelipkan potongan-potongan ayat suci Al Quran di dalam novel-novel yang ditulisnya.
Meski banyak hal-hal yang menarik dari novel ini, terdapat beberapa hal yang mungkin membuat pembaca merasa bingung dan tak mengerti apa yang akan disampaikan oleh Tere. Alur maju mundur yang jarak diantaranya terlalu cepat membuat pembaca kebingungan memahami isi dan tak jarang untuk menengok kembali cerita di bab sebelumnya. Makna dari bidadari-bidadari surga pun menimbulkan banyak tafsiran karena hanya di ungkapkan pada akhir novel ini.
Diantara sekian banyak novel yang beredar di tanah air, Tere berhasil menyuguhkan Bidadari-Bidadari Surga ini dengan sederhana. Akan tetapi, dalam kesederhanaan itu mengajarkan kita bahwa kemiskinan dan cobaan hidup tidak membuat kita menyerah, namun justru menambah semangat untuk berusaha lebih keras di samping berdoa dan beribadah. Selain itu, dalam rangkaian cerita realistis, mengharukan, dan indah inilah akan terlihat betapa kebahagiaan tak diukur dari diri sendiri tapi kebahagiaan adalah membuat orang yang kita sayangi bahagia karena perjuangan kita. Oleh karena itu, novel ini cocok dibaca oleh semua kalangan terutama mereka yang ingin mengerti makna sesungguhnya dari kasih sayang.