“Tidak
ada yang salah dalam kehidupan ini. Yang keliru adalah ketika kita
menyikapi segala sesuatu dengan tidak memperhitungkan akibat dari
pilihan sikap kita”
Judul Novel : Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata
Penulis : Pitoyo Amrih
Tebal Halaman : 476 halaman
Ukuran Halaman : 14 x 21 cm
Penerbit : DIVAPress
ISBN : 978-602-955-737-4
Sinopsis :
Ketika tahta Hastinapura yang menjadi haknya, dilepaskannya. Ketika dia bersumpah untuk tidak akan pernah menikah, agar tak ada keturunannya yang menuntut tahta Hastinapura... Apalagi tujuan hidup yang tersisa, yang menjadi semangat hari demi hari menjalani hidupnya yang begitu lama.
Cerita tentang pengabdian yang bisa menjadi cermin kehidupan kita.
Review:
Nama kecil Bisma adalah Dewabrata. Dia merupakan manusia setengah dewa karena lahir dari seorang bangsa manusia, Raja Setanu dan seorang dewi keturunan bangsa dewa, Dewi Jahnawai (dalam beberapa literiasi lain di sebut sebagai Dewi Gangga). Dewabrata tumbuh dengan sehat dan dengan kemapuan olah kanuragan yang luar biasa hingga dirinya di gadang-gadang menjadi penerus tahta Hastinapura. Namun, takdir menggariskan hal yang berbeda bagi Dewabrata. Kesetiannya pada negerinya membuatnya bersumpah untuk melepaskan haknya atas Hastinapura begitu juga anak turunannya hingga ia juga bersumpah untuk tidak menyentuh wanita sepanjang hidupnya. Sejak itulah ia bergelar menjadi Bisma Dewabrata. Seorang yang karena keluhuran dan kesetiannya menjadi kekasih dewa.
Akan tetapi, setia pada sumpahnya ini tidaklah mudah. Begitu banyak peristiwa yang menguji kesetiaan akan sumpahnya. Dalam novel ini, Bisma dikisahkan bertemu dengan seseorang yang menguji kesetiaannya akan wanita. Ia bertemu dengan Dewi Amba yang diam-diam telah mencuri hatinya. Ia dihadapkan pada ujian yang lebih berat lagi ketika Dewi Amba memintanya untuk diboyong serta ke Hastinapura bersama saudari-saudarinya sehingga tanpa sengaja justru Bisma yang membunuh Dewi Amba. Kisah yang menurut saya begitu pilu. Dalam literasi lain, kisah antara Bisma dan Amba sedikit berbeda, bukan kisah asmara namun lebih ke rasa dendam Amba pada Bisma.
Selain Dewi Amba, kisah lain yang menguji kesetiaannya adalah berbagai peristiwa yang membuat Bisma begitu pelik memikirkan siapa yang akan menduduki tahta Hastinapura. Tahta Hastinapura selalu terancam mulai dari kepemipinan Prabu Citranggada yang sakit-sakitan, kematiannya sebelum mendapatkan keturunan, hingga lahirnya ketiga bersaudara Destrarata yang buta, Pandu yang cacat pada kulitnya, hingga Arya Widura yang asal usul ibunya yang tidak jelas. Setelah tahta pempimpinan jatuh pada Pandu-pun, Hastina kembali berduka karena Pandu yang mangkat dan anaknya, Samiaji masih terlalu kecil untuk memimpin Hastina. Destrarata diboyong kembali ke istana diikuti oleh seratus anaknya para Kurawa yang membuat suasana Hastina mulai tidak aman. Situasi ini berujung pada pecahnya perang antara Pandawa dan Kurawa dalam perang Bratayuda.
Bisma di usia tuanya, menjelang perang antara sudara itu lebih banyak tinggal di bukit Talkanda, di sanalah ia berbincang dengan Antasena, sehingga bersama dengan Antasena, mereka meraga-sukma kembali ke masa lalu, mengungkap kisah-kisah Bisma yang membuatnya begitu berat menjalani sumpahnya pada Hastinapura. Hanya Antasenalah yang tau betapa berat tanggungjaweb seseorang untuk selalu teguh memegang janjinya. Dibagian inilah yang membuat novel ini sedikit membingungkan alurnya karena maju mundur. Jadi harus benar-benar teliti di novel ini dalam hal timeline ceritanya.
Novel inspirasional ini menceritakan tentang hakikat dari kesetiaan sejati. Kesetiaan pada negara yang ada di atas kepentingan pribadi benar-benar di wujudkan oleh Bisma. Bagaimana nasionalismenya begitu tinggi untuk mempertahankan negerinya tanpa berusaha untu memihak pada keburukan Kurawa. Kisah ini wajib untuk dibaca generasi muda mengingat esensi dari kestiaan begitu jelas digambarkan dengan berbagai resiko dan ujian yang harus di hadapi.
Tokoh Bisma begitu terkenal, banyak sekali versi cerita dari Bisma, namun bagi saya, pengambaran Bisma yang begitu mempesona ada pada novel karya Pitoyo ini. Semua literasi pada dasarnya pakemnya sama, tidak keluar dari pakem aslinya, namun jika melihat pengambarannya secara menyeluruh, saya sebagai wanita lebih memilih Bisma yang mucul dalam novel ini. Hehe, seenak saya saja memilih padahal saya tahu bahwa Bisma tidak memilih wanita manapun di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar