Sunrise Sikunir |
“Semua yang ada di dunia ini tidak ada yang tidak berubah,
kecuali kenangan dan masa lalu”
AI_02-03 Juli 2017
Widiihhhh, setelah vacum dan menghilang entah berapa
lamanya. Saya langsung bikin quote galau. Sok-sokan terbawa kisah cerita di
masa lalu ni yee. Tapi bener, perjalanan kali ini adalah perjalanan penuh dengan
rasa baper (bawa perasaan).
Hi Dieng Season 4 ini adalah perjalanan ke Dieng yang ke empat
kawan. Negeri yang penuh rahmat ini memang tidak bosan-bosannya untuk “minta”
dikunjungi. Bikin kangen. Perjalanan kali ini juga yang paling tidak mudah. Setelah bekerja keras mencari partner yang
terus saja maju mundur kayak undur-undur (karena banyak keperluan di luar kuasa
saya) kami akhirnya lengkap dengan formasi tujuh orang. Ehhh, tujuan dan waktu
berangkat tinggal di depan mata, ada lagi tantangannya yaitu kejadian alam yang
sangat akrab dengan kehidupan saya di tepian gunung. Kawah Sileri mengalami letusan
freatik pada tanggal 2 Juli 2017 jam 12.00 WIB. Hello, nanti malam jam 20.00
kami berangkat ke sana, dan di tanggal yang sama sore itu juga kami mendengar
kabar adanya letusan ini. Duh, firasat saya jadi tidak enak, dan benar saja.
Semua teman yang sebelumnya sempat saya hubungi untuk saya ajak ke Dieng
memberi saya berita yang sudah saya tahu dengan jelas. Tentu saja mereka
khawatir, namun yang saya khawatirkan adalah restu dari orang tua saya dan
teman-teman saya yang sudah membulatkan tekad untuk ke Dieng. Akhirnya dengan
berbagai pengertian, ijin keluar kami bertujuh disetujui dan berangkatlah kami
ke Dieng dengan penuh ridho dan restu.
Oke sebagai catatan saja, pertama, di Dieng banyak kawah
aktif ya teman-teman. Baik Sileri, Sinila, Candradimuka, maupun Sikidang
sekalipun bisa meletus kapan saja. Hanya yang membedakannya adalah besarnya
letusan dan jenis letusan. Tidak semua yang bisa dilihat dengan mata berbahaya
dan tidak semua yang tidak bisa dilihat itu berarti aman. Ingat peristiwa di
Dieng tahun 1979? Waktu itu kawah Sinila meletus dan mengeluarkan gas beracun
yang notabene tidak berwarna dan tidak berbau. Peristiwa itu menyebabkan 149
orang tewas di tempat saat sedang berusaha mengungsi. Kedua, mitigasi bencana
yang harus diperhatikan. Saya sudah bolak-balik ke Dieng (ini bukan berarti
sombong lo ya), dan jelas sekali di setiap wilayah wisata ada tanda-tanda dan
peringatan yang harus kita patuhi. Ada banyak papan informasi di sana terkait
dengan jarak aman kunjungan di kawah, pagar pembatas, waspada gas beracun, dan
rambu-rambu arah evakuasi. Jika teman-teman mematuhi rambu-rambu ini maka
insyaallah, aman. Bencana itu teman kita sehari-hari kawan. Mereka bukan
penghalang kita untuk beraktivitas namun harus kita kenali sehingga kita bisa
bersahabat dengannya. Oke sampai di sini ngoceh saya!
Kami berangkat malam itu juga dan sampai di Dieng pukul
00.00. Dini hari kawan. Tujuan pertama sekaligus basecamp kami adalah di
Sikunir. Kami berencana mengawali hari itu dengan surise di sana. Saat pintu
mobil kami buka langsung saja dinginnya dataran tinggi Dieng langsung
bernostalgia dengan saya. Owh... romantis sekali jika mengingat saat pertama
kalinya saya ke sini bulan Desember 2010. Waktu itu saya kuliah lapangan di
Dieng selama kurang lebih empat hari. Selain dinginnya yang menggigit kulit
kenangan lainnya adalah saya betah tidak mandi selama saya tinggal di sini. Hahaha
maafkan saya ya guys. Lanjut, kami langsung saja mengeluarkan berbagai
peralatan camping yang sudah kami siapkan dan mendirikan tenda secepatnya. Kami
mulai bebenah tempat kami akan tidur sambil memasak air untuk membuat cokelat
panas. Dini hari itu menjadi obrolan singkat yang hangat di tengah dingin yang
selalu saya rindukan. Tak lama setelah itu kami memutuskan untuk istirahat
sebelum pendakian besok pagi. Kami berlima (cewek semua) tidur di tenda dan dua
jagoan kami tidur di mobil. Akhirnya malam itu walau menggigil kedinginan saya
masih bisa tidur sambil bergulat dengan teman saya biar hangat.
Sampai Puncak, Blacklight mode on |
Adzan subuh membangunkan kami. Suara pagi itu seperti halnya
pasar. Banyak sekali suara yang kami dengar namun tidak begitu jelas. Tenda di
samping kanan kiri kami sudah kosong dan beberapa sudah berjalan naik ke atas
puncak. Setelah sholat subuh saya sepenuhnya terbangun. Bagaimana tidak, muka
dan tubuh saya tertampar saat mengambil air wudhu. Dingin sekali! Persiapan
kami lengkap dan kami memutuskan untuk melakukan pendakian mini ini.
Wiiih saya kembali baperan! Kali ini saya
terbengong-bengong. Dulu jalan yang saya lalui adalah jalan yang digunakan oleh
petani naik turun membawa hasil bumi, sekarang adalah jalan selebar kurang
lebih 3 meter yang bisa di lalui mobil. Dulu yang kanan kirinya berhiaskan
tanaman dan sayuran khas Dieng sekarang berganti warung dan tempat
beristirahat. Dulu yang puncaknya penuh dengan pepohonan dan ilalang sekarang
penuh dengan orang! Eh salah maksud saya lapang sehingga banyak orang yang
berlalu lalang. Bahkan di puncak tertinggi ada toiletnya teman. Sungguh luar
biasa. Saya ternganga melihatnya. Mata saya bahkan merem melek saat berusaha
mempercayai apa yang saya lihat. Dunia begitu cepat sekali berubah. Atau saya
yang kudet? Entahlah. Formasi kami yang bertujuh sudah berpencaran. Hanya empat
dari kami yang sampai puncak. Jagoan saya yang satu sudah turun duluan karena
urusan urgent. Dua adik saya sudah senewen dan memutuskan untuk turun juga. Tiga
temen saya sudah muncak dan tinggallah saya yang melancong sendirian. Jalannya yang jelas pun masih membuat saya ke sasar teman. Salah puncak, emang nasib saya kali
ya nyasaran! Namun saya berhasil menemukan ketiga teman saya yang sudah muncak.
Komentar saya untuk sunrise Sikunir adalah luar biasa. Nggak nyesel deh walau
naiknya cukup ngos-ngosan dan membuat mabuk gunung saya kumat. Amazing, daebak,
dan thumb up!
Setelah pendakian Sikunir ini selesai, kami kembali ke
basecamp dan membuat sarapan sebelum kembali berwisata. Dengan kompor dan bekal
seadanya, kami menganjal perut kami sebelum pergi ke destinasi selanjutnya
sambil memandangi telaga Cebong di depan kami mendirikan tenda. Batu ratapan
angin!
Batu ratapan angin, ini tujuan yang baru pertama kali saya
datangi. Dulu tidak ada. Kenapa di sebut sebagai batu ratapan angin? Ini karena
di bukit tempat kita bisa memandangi Telaga warna dan Telaga Pengilon ini
berdiri bongkahan batu besar yang menjulang secara vertikal, dari celah-celah
batu ini, jika tertiup oleh angin, terdapat suara-suara unik di sekitarnya. Nah
pemandangan dari sini juga luar biasa sebanding dengan perjuangannya. Lokasinya
tidak jauh dari Dieng Plateau Theater teman. Jejer malah! Nah dari puncak sini
kita bisa mengambil banyak foto yang sangat indah dan juga wahana-wahana
yang bisa kita nikmati seperti halnya
jembatan merah putih, tempat selfie, sampai flying fox. Kami menghabiskan
waktu kami di sini dengan berfoto-foto. Jujur ini tempat kami paling banyak
berfoto karena pemandangannya. Di Sikunir, seindah apapun pemandangnnya, foto
kami tetap aja blacklight karena membelakangi cahaya.
Destinasi kami selanjutnya adalah Telaga Warna dan Telaga
Pengilon. Kami mampir dan kembali berfoto-foto di sana. Tidak ada yang berubah.
Masih saja sama seperti saya ke sini terakhir kali (Tahun 2012) hanya saja yang
bertambah adalah wahana dan pedagangnya yang tambah. Kami tidak lama di sini
karena sudah siang dan kami juga sudah mulai lelah mengingat tadi pagi
bangunnya kepagian dan juga melakukan pendakian. Kami memutuskan untuk makan
siang dan sampailah kami ditempat orang berjualan mie ayam (mie lagi! Setelah tadi
pagi sarapan mie). Judulnya kami menganjal perut, belum makan nasi sehingga
belum bisa dikatakan makan, namanya aja orang Indonesia ya. Hehe.
Narsis saya ditempat yang sama, at Telaga Warna |
Setelah makan siang, bukannya kami tambah semangat. Kami malah
mulai lelah dan mengantuk. Kami mencapai puncak kelelahan namun teman-teman
saya tidak bilang dengan jujur. Akhirnya, saya sedikit dongkol saat
mengeluarkan uang banyak untuk membeli tiket namun justru ke empat pasukan
memilih tidur di dalam mobil. Hello, tau gitu tadi kami jalan aja ke sana. Sialan.
Saya akhirnya keluar dari mobil demi meredakan mood saya. Janganlah sampai down
di sini. Pasukan yang hanya tinggal tiga orang ini menghibur diri di kawah
Sikidang. Ingat menghibur diri ya bukan menceburkan diri! Saya kembali shyok
teman-teman. Wilayah di sekitaran kawah sekarang jadi tempat ajang selfie. Banyak
sekali spot untuk berfoto di sini. Bahkan ada yang jualan telur yang di rebus
di kawah! Duh, saya tepok jidat. Ya tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang wisata
ini menjadi mata pencaharian mereka namun keselamatan tetap nomor satu kan ya? Dan
sisi negatifnya, semua tempat selfie ini bayar, saya hanya tersenyum saja saat
ditawari untuk berfoto. Maaf ya pak, saya lelah dan menganut paham naturalisme.
Hehe.
Kawah Sikidang, banyak tulisannya! Top selfie! |
Di kawah Sikidang ini kami hanya berkeliling sambil saya
cerita apa yang saya peroleh waktu kuliah lapangan di sini. Teman saya juga
sudah sama lelahnya, bau belerang yang sama masih membuat saya cepat-cepat
ingin pergi, dan galeri kami sudah di rasa cukup sehingga kami memutuskan untuk
angkat kaki dari tanah hangat yang kami pijak. Duh hati saya deg-degan juga
kalau sewaktu-waktu tanah yang saya pijak ini berubah menjadi kawah. Selepas kami
ke toilet dan membersihkan diri kami kembali ke mobil dan memutuskan untuk
pulang. Jam menunjukkan pukul 13,30 dan kami memilih untuk pulang. Kami
menyia-nyiakan tiket kami ke Candi Arjuna, oh jangan ingatkan lagi! Tidaakkk!
Sepanjang perjalanan pulang saya tewas. Lelah menghampiri
saya dan membuat saya tidak kuat menahan kantuk. Hanya dua jagoan sopir kami
dan temen saya yang terus ngoceh sepanjang perjalanan pulang. Dalam perjalanan wisata kami ini, kami iseng-iseng meliput. Kebetulan dua jagoan kami ini suka
sekali dengan fotografi dan videografi lalu didukung oleh teman saya pula yang
suka ngomong. Akhirnya mereka membuat liputan yang membuat orang bertanya-tanya
kami dari stasiun TV mana. Haha. Cukup unik mengingat angel dan juga spot-spot
yang sempat missing.
Nah kisah baperan ini selesai. Banyak sekali yang berubah
kan? Yang tidak adalah kenangan di benak saya. Saya ke sini juga dengan formasi
yang berubah namun tetap saja kenangan yang saya buat kali ini tetaplah luar
bisa. Dieng memang menawarkan keunikannya. Tidak hanya sebagai negeri di atas
awan, negeri di atas bara api, namun juga menampilkan dua sisi yang berbeda
dalam satu wadah yang sama. Di sini sumber panas bumi dan juga dinginnya pegunungan
berjalinan membentuk cuaca yang cenderung berbeda dari wilayah Indonesia lainnya. Banyak sekali
cerita yang ingin dibagikan, banyak sejarah yang perlu diungkapkan, banyak
cerita alam yang ingin dibisikkan dan cerita lain yang harus diwariskan demi
kelangsungan tanah para dewa ini. Selamat mengeksplorasi Dieng, selamat berwisata
dan selalu patuhi aturan alam yang ada!
Happy Holiday!
Tiket:
Masuk Dieng : @ Rp 10.000
Sikunir : @Rp 10.000
Batu Ratapan Angin : @Rp 10.000
Telaga Warna : @Rp 6000
SiKidang dan Candi Arjuna: @Rp 15.000
People in Frame : Angga, Rendy, Ana, Ayu, Tiwi, Devi, Intan
Foto Credit : Angga dan Rendy
Selfie : Siapa aja boleh asal kita bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar