Hatta: Aku Datang Karena Sejarah
Sergius Sutanto
ISBN : 9786024020965
364 halaman
2018 (cetakan pertama september 2013)
Penerbit Qanita
Sergius Sutanto
ISBN : 9786024020965
364 halaman
2018 (cetakan pertama september 2013)
Penerbit Qanita
Sinopsis
Aku telah memilih pergerakan sebagai jalan hidupku, dan aku pun harus siap menerima segala konsekuensinya.^ Beri Hatta lima pilihan, rendang, laut, buku, sekolah, dan Makkah, maka tanpa ragu dia akan memilih Makkah. Sebuah pilihan yang didasari pengaruh Pak Gaek, sang kakek yang menggantikan peran ayah semenjak Hatta menjadi yatim. Tetapi, sang ibu tak ingin Hatta pergi ke Makkah. Alhasil, nasib pun membawa Hatta muda ke Jakarta kemudian ke Belanda. Bersinggungan dengan ketidakadilan penjajahan membuatnya bergabung dalam pergerakan nasional. Sebuah pilihan penuh risiko yang membuatnya terbuang ke Digul hingga Banda Neira. Pilihan itu pula yang mengantarkannya bertemu dengan Soekarno, Sjahrir, dan orang hebat lainnya. Sjahrir yang suka pesta dan Soekarno yang mengantarkan Rahmi untuknya. Meski akhirnya, dia terpaksa melihat bagaimana para sahabatnya ini berlintang jalan, dan dia sendiri pun tersingkir, Hatta tak pernah membenci. Hatta: Aku Datang karena Sejarah, ditulis Sergius Sutanto yang telah menghasilkan sebuah film dokumenter tentang Hatta. Dengan landasan riset mendalam dan dukungan keluarga, novel ini akan membawa kita lebih dekat pada sosok pribadi bapak bangsa ini
Review
Ini adalah novel biografi yang pertama saya baca.
Saya menyempatkan diri untuk membaca bagian pengantar untuk memilah dan memilih sebatas mana yang "fakta" dan batas mana yang "fiksi" agar tidak ada yang salah atau menyalahi pemahaman saya tentang "sejarah" yang selama ini saya pelajari.
Novel ini berawal dari kekecewaan Moh. Hatta terhadap sahabatnya sendiri Bung Karno. . Latarnya adalah Desember 1956, lima bulan setelah surat pengunduran dirinya sebagai wakil presiden Indonesia. Kekecewaan yang akhirnya membuatnya hengkang dari kancah politik dan menjadikannya rakyat biasa, membuatnya kembali mengenang masa lalunya.
Saya melihat sekaligus belajar bahwa sosok Atta (Moh Hatta ketika masih muda), tumbuh atas dasar kekecewaannya terhadap banyak hal. Mulai dari janji belajar di Makkah yang gugur ditenggah jalan, janji pendidikan yang tidak sesuai dengan harapannya, sampai yang paling menyakiti hatinya adalah kekecewaan pada sahabatnya sendiri.
Sebenarnya Hatta sudah paham benar bahwa sejak awal ia berada di titik yang bersebrangan dengan Soekarno. Soekarno pada aksi massa, sedangkan Hatta lebih pada pendidikan. Hata menghendaki asas kedaulatan rakyat dan Soekarno lebih pada asas persatuannya. Walau pada akhirnya jalan yang bersebrangan itu tetap menjadikan mereka berdua bersatu untuk memproklamirkan kemerdekaan tapi pada akhirnya perbedaan itu kembali menjauhkan dua sahabat ini. Namun, kekecewaan yang dialami Hatta dalam hal ini dianggap positif untuk belajar menerima, berikhtiar, menghargai dan yang jelas memahaminya dari sudut yang paling sederhana. Atta hanya menyakini bahwa semua yang telah ditakdirkan untuknya adalah yang terbaik. Ia cukup untuk bersabar. Ya, sabar menjadi kunci dari kehidupannya.
Novel biografi ini tidak hanya berkisah tentang Atta namun juga rekan-rekan seperjuangannya. Membuat kita kembali menengok sejarah kita. Saya pribadi merasakan pergulatan batin saya ketika membaca narasi novel ini. Perjuangan, keteguhan hati, dan prinsip dimana melaksanakannya tidak semudah mengucapkannya. Banyak sekali yang harus di korbankan untuk kebenaran. Saya juga sempat meneteskan air mata saat membaca beberapa bab yang penuh dengan makna perpisahan.
Mungkin saya terlalu lebay, berlebihan, namun novel ini termasuk buku yang saya rekomendasikan untuk dibaca semua generasi. Walau saya sadari masih banyaknya peristiwa yang perlu saya cari literasi pendukungnya tapi setidaknya buku ini bisa dijadika pembuka untuk belajar mengenai negeri kita ini, Indonesia.
rate 4.5 of 5
"kemerdekaan Indonesia tidak dapat dicapai oleh para pemimpinnya saja, melainkan oleh usaha dan keyakinan bersama rakyat banyak. Nasib rakyat Indonesia ada dalam genggaman tangannya rakyat sendiri. hal 163"
"memang mahal harga sebuah kebenaran,apalagi jika dijahit dengan benang kejujuran. Sama sekali tidak ada tawar menawar didalamnya. hal 284"
"Rasa tidak suka pada seseorang kadang bisa menyarukan kebenaran. Hal 288"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar