“Ketika kau merasa hidupmu menyakitkan dan merasa muak dengan semua penderitaan maka itu saatnya kau harus melihat ke atas, pasti ada kabar baik untukmu, janji-janji, masa depan. Dan sebaliknya, ketika kau merasa hidupmu menyenangkan dan selalu merasa kurang dengan semua kesenangan maka itulah saatnya kau harus melihat ke bawah, pasti ada yang lebih tidak beruntung darimu. Hanya sesederhana itu. Dengan begitu, kau akan selalu pandai bersyukur.” (hal. 416-417)
Apakah hidup ini adil?
Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup?
Apakah makna kehilangan?
Apakah cinta itu?
Dan, Apakah kaya adalah segalanya?
Jika kita diberikan lima kesempatan untuk bertanya, apakah yang akan kau tanyakan dalam hidupmu?
Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup?
Apakah makna kehilangan?
Apakah cinta itu?
Dan, Apakah kaya adalah segalanya?
Jika kita diberikan lima kesempatan untuk bertanya, apakah yang akan kau tanyakan dalam hidupmu?
Ray (Rehan) juga memiliki lima pertanyaan sendiri di dalam hidupnya. Lima pertanyaan yang tidak pernah ia tahu jawabannya. Tapi kini ia memiliki kesempatan untuk bertanya, satu malaikat langit berwajah menyenangkan itu datang padanya dan memberikan kesempatan itu. Lima pertanyaan. Lima jawaban. Dan dari sinilah perjalanan mengenang masa lalu ini di mulai.
Ray, usianya kini sudah menginjak enam puluh tahun. Seorang tua yang kaya raya itu kini terbaring sekarat di rumah sakit dibawah penanganan lima dokter hebat. Saat itulah sesosok malaikat mendatanginya, memberikan kesempatan ltu. Lima pertanyaan. Lima jawaban.
Dari sinilah, pertanyaan-pertanyaan hidup Ray terjawab. Mulai dari kenapa ia harus dikirim ke panti asuhan terkutuk itu, apakah hidup ini adil, dll.
Urusan yang sungguh pelik bagi Ray ini justru memiliki jawaban yang sangat sederhana. Enam puluh tahun hidpunya dihabiskan hanya dengan mengutuk langit dan mencari-cari pembenaran atas semua takdir-takdir menyakitkan yang harus ia alami. Menyakitkan? Ya, karena baginya hidup ini hanya milik orang-orang jahat, orang-orang baik selalu dihadapkan dengan takdir yang menyakitkan, tidak adil, selau kehilangan, dan tanpa pilihan hidup. Setidaknya itu anggapan Ray yang membuatnya mengutuk langit sepanjang hidupnya.
Tapi, begitulah manusia. Tidak ada yang tahu kenyataan seuntuhnya, bahkan beberapa justru akan lebih terlindungi jika ia tidak tahu kenyataan sesungguhnya. Ray, melihat kenyataan-kenyataan itu dari perjalanan ini. Sungguh kuasa langit tidak bisa ia tebak, bagaimana mungkin orang yang selama ini baik adalah orang yang membunuh ayah-bundanya? Atau bagaimana orang yang selama ini ia anggap jahat justru menyelamatkannya dan memberikan takdir yang lebih baik? Kenyataan ini benar-benar memutar balikkan pikiran Ray.
Membaca buku ini membuat kita seolah-olah mendapatkan setitik cayaha dari carut marutnya kehidupan. Bagaimana buku ini membuat kita melihat sesuatu dari sisi yang tidak terlihat, menyusunnya dengan indah dan menuangkannya dalam kata-kata. Mengajarkan bagaimana siklus hidup ini berjalan dan teori sebab-akibat yang membuat pembacanya akan lebih hati-hati dalam bertindak. Tanpa di sadari saat menutup lembaran terakhir dalam cerita ini, secara otomatis kita akan mereview apa yang selama ini kita lakukan dan perbuat. Penerimaan dan juga intropeksi diri.
Dalam buku ini, Tere liye mengajak kita berkelana di dunia fantasi, dunia fantasi yang mengajak kita untuk lebih memaknai hidup ini dengan amat sangat sederhana. Cerita ini di kemas dalam buku/novel yang berjudul Rembulan Tenggelam di Wajahmu, dengan tebal 427 halaman oleh Penerbit Republika Februari tahun 2009.
Pelajaran hidup apa yang kalian dapatkan? Tentunya kalian akan tahu setelah membacanya….
Happy reading….
“Selalu berprasangka baik, jika di sederhanakan, berharaplah sedikit dan memberi banyak. Maka kau akan siap menerima segala bentuk keadilan Tuhan (hal.201)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar