Senin, 10 Juni 2013

Cerita Keluarga Sebelas: Ibu Saniah, dan Kehangatan Keluarga Baru dari Suku Osing di Kemiren, Banyuwangi

Kita bersama (keluarga rumah sebelas)







Siapa bilang keluarga itu hanya sekedar ikatan darah? Tidak! Setidaknya itu yang aku rasakan selama berada di antara mereka semua.

Dua hari, hanya dua hari waktu yang kami miliki di Banyuwangi, tapi ingatan kami dan hati kami seolah mendapatkan keluarga baru di suku Osing. Siapa sih kita ini? Pendatang… tapi keterbukaan dan juga kehangatan warga suku Osing masih membekas. Cie…

Tempat persinggahan kami (rumah Ibu Saniah)
Jumat pagi, 31 Mei 2013 jam 09.00 WIB kami rombongan PLG III sampai di Kemiren, Banyuwangi. Belum sempat kami berkenalan, senyum ramah kepala desa dan warga telah menyinari pagi kami (bahasanya). Suasana yang berbeda, bahasa yang berbeda terdengar asing, kami tersenyum (karena tidak mengerti) dan menunggu siapa yang menjadi ibu dan bapak kami selama di sana.

Ibu Saniah, itulah Ibu yang akan merawat kami selama dua hari ini. Lalu di mulailah perjalanan Aku, Upi, Tyas, Dybora, Nurul, Dita, Pitty, Mb Kiki, Ragil, Nisa, Weni, dan Muji mengikuti Ibu Saniah ke rumahnya. Diam. Sesekali bertanya dan melempar senyuman, terasa kaku sampai kami tiba disebuah rumah. Saat menginjakkan kaki pertama. Ah dinginnya lantai, membuat suasana nyaman.

Bahan utama udang, namanya nggak tahu...
Kami semua pun duduk bingung di ruang tamu, saling melirik untuk bertanya, dan saat mata kami dan Ibu Saniah bertemu lagi-lagi kami tersenyum. Beliau mulai bertanya dengan bahasa Osing. Kami menjawab dengan bahasa Jawa dan Indonesia. Diam. Kembali aku dan beberapa teman lainnya tersenyum (tidak mengerti). Diam lagi, bertanya lagi dan tertawa canggung (lagi-lagi tidak mengerti). Begitulah, terus saja berputar siklus itu sampai akhirnya kami paham satu sama lain (dengan pemahaman yang diartikan sendiri)

Kami mendapatkan kamar. Pertama aku, Dita, Upi dan Nurul satu kamar. Kamar kedua Dybora, Pitty, Tyas, dan Muji (tapi tidurnya ngabur ke ruang tamu). Kamar terakhir berisi Weni, Mb Kiki, Nisa, dan Ragil. Setelah selesai bongkar tas kami kembali ke ruang tamu dan membuatnya seperti gudang makanan yang tidak jelas mana makanannya dan mana sampahnya. Ckckck… benar-benar berantakan. Membuat rumah yang hanya di tinggali Ibu Saniah dan Suaminya terasa seperti pengungsian. Anak-anak Ibu Saniah sudah berumah tangga dan tinggal di luar desa karena tentara. Hari itu kami juga bertemu dengan saudara Ibu Saniah yang dimintai tolong untuk membantu memasakkan kami makanan. Benar-benar anak-anak pengungsian kita ini.

Berbicara makanan, aku benar-benar menyesuaikan diri dengan rasa makannya. Benar-benar berbeda dari Yogya yang khasnya adalah masakan manis, yang aku rasakan hanya asin dan pedas. Benar-benar ciri maskan khas Jawa Timur yang lebih terkesan gurih. Banyak yang aku belum pernah makan, kecuali nasi, tahu dan krupuknya. Masih sama. Lainnya rasanya benar-benar aneh, tapi enak dan bikin ketagihan.

Dan hari itu hingga Minggu kami, terbentuklah keluarga baru dengan sepasang suami istri dan kedua belas anaknya yang (ceria di masing-masing bidang ). Ada yang ceria karena makanannya cocok, ada yang rada membiasakan diri dengan makan seadanya. Ada yang ceria karena bisa tidur semaunya (melebihi jika dirumah/kos) dan yang susah tidurnya. Ada yang ceria mandi duluan dan ada yang mengantri berjam-jam (ampe molor lagi). Sampai-sampai ada yang ceria gara-gara bisa kentut dan pup semuanya sedangkan ada yang yang tidak bisa pup berhari-hari. Benar-benar keluarga yang lengkap.

Tapi, Minggu pagi datang. Setengah bahagia karena kami akan pulang tapi setengah enggan meninggalkan keluarga ini. Ah, perasaan apa ini? Kami serasa kemalingan. Kemalingan hati kami untuk keluarga ini. Tapi tetap saja kami harus pergi. Pagi itu kami semua berpamitan, seperti biasa aku kabur sebelum insiden air mata banjir. Setelah berpamitan mengucap maaf dan terimakasih, aku memilih untuk keluar hingga mereka men-skip adegan mengharukan itu. Kami lantas berfoto bersama di depan rumah. Kenangan indah kami nanti.  
  
Ibu ke 2,, (ada yang bisa bantu saya? saya lupa asmanya beliau)
Oh tidak, ini belum berakhir.  Setelah berpamitan dengan perangkat desa dan tetua desa, kami semua melambaikan tangan. Kami melihat mereka semua dari dalam bus. Ibu Saniah, Bibi, dan ibu sekretaris desa tampak bersedih dan menangis. Oh apa yang harus aku lakukan? Aku beralih pada tetua desa dan warga lainnya, wajah mereka tampak sangat kehilangan. Seperti orang tua yang melepas anak-anaknya untuk meraih masa depan yang labih baik. Wajah-wajah yang mendoakan kesuksesan kami. Ah, kenapa aku merasa menerima kasih sayang dari mereka yang begitu banyak?

Bus kami berjalan, wajah-wajah itu menghilang perlahan-lahan dari pandangan. Perlahan aku membalikan wajahku, memandang jauh ke dalam desa, kehutan, keseluruh bagian desa, dan berkali-kali bergumam.“Sial, sial, sial” air mata ini tak mau berhenti. Akhirnya kuusap air mata yang mengaliri pipiku, menyimpannya rapat-rapat dalam hati. Aku kalah, berikrar aku ingin kembali lagi…


3 komentar: