KECAMATAN CANGKRINGAN
Gambar 1.1 Peta Kecamatan Cangkringan |
Kecamatan Cangkringan merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman, provinsi D.I. Yogyakarta. Bagian utara Kecamatan Cangkringan berbatasan langsung dengan Gunung Merapi, kemudian di bagian barat di batasi oleh Sungai Kuning, bagian timur berbatasan dengan Jawa Tengah tepatanya Kecamatan Kmalang dan Manisrenggo, dan selatan berbatasan dengan Kecamatan Ngemplak. Kecamatan Cangkringan terdisi dari lima desa yaitu Kepuharjo, Umbulharjo, Glagahharjo, Wukirsari dan Argomulyo.
Gambar 1.2. Gunung Merapi |
Secara umum, karakteristik ekosistem yang paling menonjol dari kecamatan Cangkringan adalah ekosistem daerah pegunungan. Dominasi pepohonan masih sangat terlihat dengan topografi yang kasar. Satwa liar masih bisa ditemukan di berbagai tempat. Keberadaan gunung yang masih aktif memberikan perngaruh besar terhadap ekosistem yang ada di wilayah ini. Erupsi Gunung Api secara berkala seolah menjadi siklus daur ulang alam yang mempengaruhi aktivitas berbagaai makhluk hidup termasuk manusia, baik dalam hal mata pencaharian maupun dalam hal berinteraksi dengan alam. Gambaran karakteristik Kecamatan Cangkringan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bentang Alam
Kecamatan Cangkringan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Gunung Merapi di bagian Utara. Oleh karena itu bentang alam di wilayah ini terdiri dari pegunungan, topografi yang bergelombang/kasar, tebing-tebing terjal di bagian utara, hulu sungai seperti Sungai Kuning, sungai Opak dan Sungai Gendol,serta sedikit dataran rendah di bagian selatan Desa Wukirsari dan pusat kecamatan di Argomulyo.
2. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam yang ada di kecamatan Cangkringan meliputi:
a.Bahan Galian Golongan C
Gunung Merapi memberikan sumbangan sumber daya alam yang melimpah berupa material tambang golongan C seperti batu, pasir, dan kerikil. Siklus erupsi 2-5 Gunung Merapi setiap tahun sekali membuat wilayah ini tidak pernah kekurangan material galian ini. Terlebih lagi setelah erupsi tahun 2010 lalu yang membuat beberapa dusun di kecamatan ini tertutup material dari Gunung Merapi berjuta-juta ton kubik.
Gambar 1.3 Kegiatan Penambangan di Sungai Gendol |
Awalnya (sebelum tahun 2010), kegiatan penambangan ini dilakukan di sungai Kuning, sungai Opak, Gendol dan di beberapa tanah warga yang sengaja di gali untuk diambil pasirnya pada lapisan dibawah lapisan tanah. Jika di sungai Kuning, sungai Opak dan Sungai Gendol eksploitasi galian ini hanya di lakukan di permukaan sungai akan tetapi eksploitasi pada tanah-tanah warga dilakukan secara besar-besaran tanpa upaya konservasi.
Setelah tahun 2010, besarnya material yang dikeluarkan Gunung Merapi memenuhi sungai-sungai dan juga permukaan tanah warga. Eksploitasi lalu dipusatkan di daerah bekas erupsi. Penggalian ini dilakukan oleh berbagai pihak, baik pengusaha besar yang menggunakan alat berat atau dari warga dengan menggunakan alat sederhana.
b.Air
Pemenuhan kebutuhan air di Kecamatan Cangkringan bersumber dari mata air yang berasal dari sungai Kuning. Dua sumber mata air muncul di daerah ini dan di jadikan sumber air bersih bagi warga sekitarnya. Selain dari sumber mata air ini, pemenuhan air penduduk juga dari sumur-sumur setempat. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk tingkat penggunaan air di wilayah ini semakin bertambah.
c.Tanah
Tanah di bagian utara masih berupa tanah Regosol. Hal ini karena sumbangan bahan induk dari Gunung Merapi yang terjadi secara berkala yang menyebabkan tanah di wilayah ini berupa tanah muda. Bagian utara wilayah kecamatan cangkringan yang meliputi Desa Umbulharjo dan Desa Kepuhharjo pemanfaatan tanahnya hanya untuk perkebunan, jarang untuk pertanian bahkan biasanya tanah di dua desa itu justu digali untuk di ambil bahan tambangnya. Sedangkan bagian selatan yang meliputi Wukirsari, Argomulyo dan Glagahharjo usia tanah semakin tua dan sudah bisa ditemukan persawahan di daerah ini.
d.Kayu
Sekarang ini penebangan kayu di kecamatan Cangkringan hanya dilakukan pada hutan produksi yang masih tersisa. Tingkat eksploitasi pada hutan pun berkurang seiring dengan erupsi tahun 2010 yang meluluh lantahkan hutan bagian selatan bersamaan permukiman penduduk di sekitarnya.
3. Masalah Lingkungan
a.Faktor Alami, Erupsi Gunung Merapi
Gambar 1.4. Peta Rawan Bencana Gunung Merapi |
Masalah lingkungan yang paling menjadi kekhawatiran bagi masyarakat adalah bencana yang diakibatkan dari Erupsi Gunung Merapi. Kecamatan Cangkringan masuk ke dalam kawasan Rawan Bencana baik I (KRB I) sampai KRB III. Kejadian tahun 2010 menjadi trauma bagi penduduk kecamatan cangkringan. Hampir seluruh penduduk mengungsi dari Cangkringan. Bagian utara Desa Umbulharjo dan Kepuharjo luluh lantah di terjang awan panas dan desa lainnya tertutup material dari Gunung Merapi. Wilayah pinggiran dari sungai Kuning, Opak, dan Gendol juga hancur diterjang awan panas dan juga banjir lahar hujan. Rumah dan berbagai fasilitas umum lainnya hancur dan hanya meninggalkan puing-puing sisa dari erupsi.
Karena bencana erupsi ini alami dan menjadi resiko warga yang tinggal di sekelilingnya, usaha yang kini dilakukan untuk penanganannya adalah dengan membuat peta rawan bencana, jalur evakuasi dan juga kantong-kantong pengungsian. Berbagai penyuluhan dan mitigasi bencana juga dilakukan di desa-desa untuk memudahkan dalam proses evakuasi.
b.Faktor manusia
Masalah yang diakibatkan oleh manusia antara lain adalah lubang-lubang bekas galian pasir dan batu. Tanah-tanah warga yang biasanya telah dijual kepada pengusaha atau disewakan digali dan diambil materialnya lantas ditinggalkan begitu saja. Akibatnya, banyak tanah yang terbengkalai dan tidak di kembalikan ke fungsi awalnya. Biasanya lubang-lubang galian yang ditinggalkan ini di biarkan saja hingga rumput dan gulma tumbuh di sana kemudian di manfaatkan warga sebagai pakan ternak. Tapi, pada beberapa tempat, bekas-bekas galian ini ditanami dengan pohon-pohon produksi seperti sengon atau mahoni. Selama ini usaha penanganan khusus yang dilakukan belum ada. Hanya kini beberapa tempat di bagian utara sudah kembali tertutup lagi oleh material akibat dari proses alami Gunung Merapi
Masalah lingkungan selanjutnya adalah pencemaran udara dari kegiatan peternakan. Bau tak sedap muncul di sekitar peternakan yang mengganggu kenyamanan warga. Awalnya izin peternakan ini berlaku sementara, namun akhir-akhir ini pencemaran terjadi lebih tinggi hingga menimbulkan keluhan warga. Usaha yang di lakukan yaitu dengan pemagaran ternak oleh pemilik usaha dan beberapa waktu lalu warga melakukan protes atas izin usaha tersebut yang ternyata sudah kadaluarsa. Hal ini membuat beberapa warga mengajukan tuntutan pada pemerintahan atas izin lingkungan dan AMDAL pada setiap usaha peternakan yang akan dilakukan.
4. Sikap dan Perilaku Masyarakat terhadap Lingkungan
a.Sikap dan perilaku positif masyarakat
Gambar 1.5 Upacara Adat “Labuhan” di Lereng Gunung Merapi |
Pertama, tradisi “labuhan” masyarakat Merapi pada setiap bulan suro. Tradisi ini berupa upacara untuk “penunggu” Gunung Merapi yaitu dengan memberikan dan meletakkan hasil bumi di salah satu tempat yang dibuat khusus di lereng mereapi. Walau dalam bentuk upacara adat yang terkesan berbau mistis, tapi sejatinya tradisi ini memberikan pesan pada penduduk untuk lebih menghargai apa saja yang lingkungan berikan pada masyarakat dan apa yang bisa alam ambil jika kita melanggar kewajaran kita dengan merusak dan mengganggu alam sebagai sesama makhluk hidup yang diciptakan sang pencipta.
Kedua, gotong royong secara berkala dalam rangka membersihkan lingkungan, baik lingkungan tempat tinggal atau sarana prasarana lainnya, misalnya gotong royong untuk memperbaiki pipa air bersih.
Ketiga, penduduk setempat masih memiliki lahan yang luas di sekitar pekarangan mereka. Hal ini di manfaatkan bagi penduduk untuk menanam berbagai pohon baik itu jenis tanaman buah atau tanaman yang menghasilkan kayu produksi. Hal ini membuat daerah sekitar menjadi lebih rindang dan sekaligus menghemat penggunaan kayu dari hutan alam. Selain itu penduduk yang masih menggunakan kayu untuk memasak juga memanfaatkan sisa atau ranting yang menua dari pohon-pohon tersebut.
b.Sikap dan perilaku negatif masyarakat
Pertama, sikap acuh tak acuh pada lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan contoh bekas galian pasir yang terbengkalai. Penduduk sekitar yang bukan pemilik tanah bekas galian itu cenderung membiarkan saja karena merasa itu bukan tanggungjawabnya. Hal lain ditunjukkan pada kasus pencemaran lingkungan akibat ternak. Warga yang jauh dari tempat tersebut cenderung tidak mau berkerjasama untuk menuntaskan masalah yang terjadi pada dusun mereka karena mereka merasa tidak terkena dampak pencemaran tersebut.
Kedua, walaupun sampah belum menjadi masalah di perdesaan, tapi masyarakat cenderung kurang peduli pada kebersihan lingkungan. Pembuangan sampah masih pada tempat-tempat yang tidak seharusnya misalnya kebun atau jurang.
Ketiga, masih rendahnya kesadaran akan pendidikan dan sikap peduli lingkungan pada masyarakat setempat.
Keempat, adanya sikap keras kepala masyarakat sekitar lereng merapi yang menolak upaya pemindahan pemukiman dari daerah rawan bencana terkait dengan upaya relokasi dan konservasi sekitar lereng merapi.
Usulan Konservasi
Jika pemerintah memiliki anggaran untuk konservasi, pertama adalah pengembalian hutan untuk fungsi aslinya. Walaupun pasca erupsi hutan dapat kembali dengan proses alami, tapi peranan manusia untuk melestarikannya setidaknya menambah proses pengembalian itu. Pembangunan kawasan hutang lindung lebih mendapat perhatian lagi agar nantinya hutan mampu menopang pasokan sumber air untuk penduduk. Selain itu upaya yang tak kalah pentingnya adalah konservasi di daerah mata air, pembangunan untuk daerah hulu ini perlu diperhartikan agar pemanfaatan air dapat memenuhi sasaran serta menjaga agar air yang keluar dari mata air tidak semuanya lantas masuk ke pipa-pipa penyedotan hingga alam di sekitarnya kehilangan sumber airnya .
Hal lain yang lebih spesifik yang bisa saya usulkan adalah pembangunan masyarakat lereng merapi. Mungkin hal-hal seperti konservasi hutan di atas banyak di usulkan oleh berbagai pihak, tapi dalam kenyataannya yang menjadi masalah utama lingkungan adalah faktor manusianya. Pembangunan kesadaran akan peduli lingkungan sangatlah penting untuk masyarakat yang tinggal di hulu kota Yogyakarta. Jika masyarakat yang tinggal di hulu ini tidak peduli dengan hutan, air dan alamnya maka efeknya juga akan dirasakan oleh masyarakat yang berada di bawahnya (hilir). Maka dari itu bagaimana mengupayakan agar warga mampu bertahan berdampingan dengan alam tanpa merusak fungsi dan peranannya bagi kehidupan. Mungkin hal riil yang bisa di lakukan adalah dengan pendidikan. Jika melihat masyarakat sekitar, bisa dikatakan bahwa kesadaran akan pendidikan masih sangat rendah. Tidak hanya informalnya tapi formal juga mengalami hal yang sama. Hal ini bisa dilihat dari sikap masyarakat yang kurang peduli masalah yang di timbulkan dari peternakan dan juga penggalian. Masalah-masalah itu muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakan mengenai izin lingkungan dan AMDAL. Mereka membangun dan mengambil apa yang ingin mereka bangun dan ambil tanpa memikirkan amdal tersebut. Pengusaha-pengusaha dari kota juga memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat ini untuk mengambil keuntungan dari anggaran yang seharusnya mereka keluarkan untuk lingkungan. Kemudian terkait dengan pengolahan sampah, sampah mungkin belum menjadi masalah lingkungan oleh karena itu alangkah lebih baiknya jika kesadaran itu mulai dibangun. Hal ini tentunya harus dimulai dengan contoh. Contoh pengolahan sampah inilah yang diharapkan dari pemerintah agar kedepannya sampah tidak menjadi masalah di lingkungan sekitar. Jadi, yang kedua adalah pembangunan masyarakat yang sadar akan peranan mereka sebagai komponen utama kelestarian lingkungan sekitar.
Sumber data: web resmi Pemerintahan Kabupaten Sleman at http://kecamatan.slemankab.go.id/cangkringan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar