Explore to Watu Kemloso |
Efek “nyasar” sindorom sepertinya masih mengalir deras di darah saya. Banyak sekali perjalanan yang belum terpetakan di blog ini. Hehe, sepertinya di luar sana, hobi jalan-jalan kemudian di share dalam blog sudah mengakar daging terlebih lagi banyaknya sosial media yang memfasilitasi. Duh, malah curhat tentang kemalasan saya. Haha
Akhirnya dengan bekal kamera hasil pinjaman (+yang pemiliknya, hihi) sabtu pagi, saya bersama tiga pendamping saya melakukan perjalanan ke hulu Kalikuning. Jaraknya dari rumah saya jaaaauuuuh sekali. Sekitar lima menit perjalanan di tempuh dengan kendaraan bermotor. Makannya judul di atas nggak salah dan nggak lebay, karena saya memang lagi dalam proses PDKT dengan lingkungan sekitar. Ya saya terlahir dan tinggal di lereng Gunung Merapi. Kalikuning merupakan salah satu sungai di Kabupaten Sleman yang berhulu di gunung yang mengguncang dunia tahun 2010 kemarin. Bagi saya Kalikuning adalah sego kucing, makanan murah sehari-hari saya karena tiap hari saya bersingunggan langsung dengan sungai ini. Tapi perjalanan ke Watu Kemloso ini adalah untuk pertama kalinya. Haha. Dulu waktu kecil saya nggak pernah main sampai tempat ini, tentu saja alasannya karena berbahaya.
Sebenarnya perjalanan ini tidaklah terlalu jauh jika di tempuh dengan jalan yang benar, tapi karena nyasar itu sudah (lagi-lagi) menjadi sego kucing saya, nggak afdol namanya kalau belum nyasar. Kami turun ke kali/sungai lewat jalur di dusun (yang dulunya, sekarang sudah rata tanah), Pelemsari. Setelah turun beberapa ratus meter kami sampai bawah dan langsung saja menemui watu kemloso ini. Watu (batu) yang kemloso atau seperti keloso /tikar yang di gelar di sepanjang aliran sungai. Saya jujur melongo memandangi dasar sungai (yang tidak ada airnya) itu karena batunya tidak terputus. Berbeda dengan dasar sungai lain yang biasanya didominasi oleh lumpur, pasir, krikil, atau batuan kecil lainnya, dasar sungai di hulu Kalikuining ini berupa aliran lava yang tidak terputus. Menurut berbagai catatan, lava beku yang membentang bak tikar ini merupakan hasil pembekuan lava erupsi Gunung Merapi tahun 1004. Hoho, langsung merinding melihat panjangnya sungai ini. Sepertinya erupsi tahun 2010 yang membuat saya mengungsi selama 40 hari itu belum ada apa-apanya daripada letusan ini.
Duduk-duduk di atas tikar (kloso) dari batu (watu) |
Kami berjalan ke arah utara sampai mentok ujung Kalikuning. Tak ada yang kami dapati selain batu-batu dan batu. Saya sebenarnya penasaran dengan cerita dari bapak saya tentang watu kemloso ini yang menjulang tinggi di hulu sungai. Manaaa ini kok nggak nemu setelah berjalan jauh ke utara? Akhirnya setelah putus asa, kami membanting stir 180 derajat ke arah selatan. Lantas tak beberapa menit kemudian kami melongo. Tikar batu yang membentang panjang itu berakhir, meninggalkan jurang berpuluh-puluh meter dalamnya. Oalah! Baru sadar, seharusnya kami berjalannya ke arah selatan. Ujungnya yang kita cari itu ada di selatan kami sehingga posisi kami sekarang adalah berdiri di atasnya. Haha, bayangkan ketika kalian menelusuri sungai untuk mencari air terjun kalian justru berada di atas air terjunnya. Nah, ini sama kasusnya. Kami berada di atas julangan batu itu. Dari sini kami bisa melihat kedalaman batu yang membentang itu. Singkapan dari batuan terlihat jelas menujukkan airan dan juga ketebalan lava yang mengalir kala itu.
Ketebalan batu secara vertikal |
Ada dua alternatif jalan dan cara untuk menempati tempat ini. Satu, dari jalur saya itu jika ingin menikmati watu kemlosonya, atau yang kedua dari jalur Kalikuning, ini dari umbul penganten jalan terus ke utara jika ingin menikmati singkapan batuannya. Tinggal memilih sesuai moodnya. Kami awalnya lewat jalur pertama kemudian dilanjutkan dengan jalur kedua. Tapi perjalanan itu terhenti saat kami berada di umbul temanten, rasa sejuknya air yang menjadi sumber mata air penduduk itu seolah-oleh membuat kami terlena dan memilih mendinginkan diri di sana. Hehe. Sebenarnya capek sih, tapi biar keren aja. Berbicara tentang capek, kalau menelusuri watu kemoloso hendaklah membawa bekal air minum sendiri karena begitu gersang pada musim kemarau. Air hanya mengalir mulai dari umbul temanten, selebihnya hanya sungai musiman yaitu sungai yang mengalir pada musim penghujan saja. Ah, bermain di watu kemloso ini haruslah hati-hati dan waspada, batuannya licin teman-teman. Meleng dikit bisa terpeleset dan meluncur entah kemana dan pastinya sakit karena di mana-mana hanya ada batu. Bicara tentang capek lagi, saya malu bukan kepalang waktu nafas saya panjang pendek karena kelelahan, saya yang masih berkepala dua ini kalah dengan nenek-nenek yang berjalan menaiki lereng ini. Entah kepalanya berapa tapi nenek ini memikul sebongkok besar rumput untuk makan ternaknya. Subhanallah, sepertinya saya harus banyak-banyak olahraga ini. Selain maha kuasanya Allah menciptakan alam ini, pelajaran lain yang saya ambil adalah intropeksi diri untuk lebih banyak olahraga. Hehe
Yah, perjalanan selalu memberikan pelajaran. Banyak yang bisa kita ambil dari alam, pengalaman, pemahaman kehidupan yang begitu banyak tentang kuasa-Nya, dan yang jelas adalah rasa untuk selalu rendah diri.
Keep fighting and love the nature.
See ya!
Really deep you know! |
Since when I start to love a stone? ?? |
Bonus: Umbul Temanten |
Watu kemloso ini sepengetahuan yang saya lihat langsung ini terdapat di kali woro kali gendol kali kuning sampai ke kali srumbung muntilan....mungkin batu ini terbentang sekian jauhnya...sampai masyarakat setempat menyebut batu ini pondasinya gunung...setiap lihat batu kemloso dititik titik tersebut saya langsung mrinding membayangkan betapa ada batuan sebesar dan seluas itu
BalasHapus