Hanoman, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar
Novel by Pitoyo Amrih
472 pages, published April 20th 2014 by Divapress
ISBN: 9786022555391
Novel by Pitoyo Amrih
472 pages, published April 20th 2014 by Divapress
ISBN: 9786022555391
Official Sinopsis:
Hanoman dikenal sebagai
seorang panglima bangsa Kera yang hanya menghamba pada dirinya sendiri.
Mengukir perjalanan hidupnya sendiri. Bukan karena perintah, bukan
karena pengaruh. Arah kehidupannya adalah kemana harus berjalan menurut
pemahaman kebenarannya. Hanoman yang selalu belajar.
Dia sendiri tak yakin siapa ayahnya. Yang dia tahu, ibunya bernama Dewi Anjani yang tak terlalu sering menemuinya saat kecil. Adalah Sang Hyang Bayu yang justru membentuk pendiriannya sampai dengan remaja. Hidup di negri para Dewa, negri di awan Jonggring Saloka, di istana Bayu bernama Panglawung.
Saat mulai beranjak dewasa, Batara Bayu mengirimnya mengembara ke pulau selatan Dunia Wayang. Bersama Anila yang juga tak pernah tahu asal-usulnya sendiri. Menjelajah mengenali merah hitam kehidupan dunia yang sesungguhnya. Belajar memahami apa arti teman, mengenali rasa kecewa, marah. Melihat dan mendengar tentang makna kepemimpinan. Sampai kemudian takdir membuat dia ditunjuk menjadi seorang panglima sebuah penyerangan besar terhadap suatu negri seberang lautan bernama Alengka.
Hanoman yang kemudian memahami bahwa pertikaian, peperangan sampai pada pertempuran yang semula menurutnya berisi semangat perjuangan antara yang baik dan angkara murka, tak lebih adalah silang sengkarut benturan kepentingan. Kepentingan untuk menguasai, kepentingan untuk mengalahkan, kepentingan mewujudkan keinginan.
Itulah mengapa Hanoman mengambil pendirian tak terlibat Baratayudha. Perang dahsyat yang dia mengira akan menjadi pembelajaran. Ternyata Hanoman keliru. Ternyata perang akan selalu ada. Pertempuran tetap akan selalu terjadi.
Dia sendiri tak yakin siapa ayahnya. Yang dia tahu, ibunya bernama Dewi Anjani yang tak terlalu sering menemuinya saat kecil. Adalah Sang Hyang Bayu yang justru membentuk pendiriannya sampai dengan remaja. Hidup di negri para Dewa, negri di awan Jonggring Saloka, di istana Bayu bernama Panglawung.
Saat mulai beranjak dewasa, Batara Bayu mengirimnya mengembara ke pulau selatan Dunia Wayang. Bersama Anila yang juga tak pernah tahu asal-usulnya sendiri. Menjelajah mengenali merah hitam kehidupan dunia yang sesungguhnya. Belajar memahami apa arti teman, mengenali rasa kecewa, marah. Melihat dan mendengar tentang makna kepemimpinan. Sampai kemudian takdir membuat dia ditunjuk menjadi seorang panglima sebuah penyerangan besar terhadap suatu negri seberang lautan bernama Alengka.
Hanoman yang kemudian memahami bahwa pertikaian, peperangan sampai pada pertempuran yang semula menurutnya berisi semangat perjuangan antara yang baik dan angkara murka, tak lebih adalah silang sengkarut benturan kepentingan. Kepentingan untuk menguasai, kepentingan untuk mengalahkan, kepentingan mewujudkan keinginan.
Itulah mengapa Hanoman mengambil pendirian tak terlibat Baratayudha. Perang dahsyat yang dia mengira akan menjadi pembelajaran. Ternyata Hanoman keliru. Ternyata perang akan selalu ada. Pertempuran tetap akan selalu terjadi.
Sebuah karya milik Pitoyo Amrih, menceritakan tentang salah satu
panglima besar yang memimpin penyerbuan besar terhadap negeri Alengka. Betapa
keelokannya dan ketangkasannya dalam membela kebenaran.
Hanoman tidak pernah tahu benar siapa Ayahnya dan Ibunya. Sejak kecil
ia tinggal di kerjaan para Dewa bernama Jonggring Saloka, dibawah pengawasan
Batara Bayu. Ia di gembleng olah kanuragan dan kautaman bersama Anila sampai
akhirnya di perintahkan turun ke marcapada/ dunia wayang. Di sinilah Hanoman
mulai benar-benar belajar tentang kehidupan. Bagaimana ia bertemu dengan
berbagai macam bangsa dan karekternya, hingga ia akhirnya bisa bertemu dengan
Rama dan bergabung untuk membela kebenaran yang selama ini menjadi keyakinanya.
Hanoman adalah sosok kesatria yang selalu belajar. Kisahnya hingga ia
menjadi panglima perang negeri Ayodya tidak luput dari sebuah pembelajaran. Ia
merupakan sosok yang lurus, begitu patuh pada perintah orang-orang yang
dihormatinya hingga ia tidak pernah berani untuk bertanya. Ia hanya perlu
memahami dan meyakini apa yang menjadi keyakinannya. Sampai pada Hanoman
akhirnya menyadari bahwa setiap hal yang ada di dunia selalu memiliki dua sisi
yang berbeda, tidak semua yang buruk itu buruk begitu juga sebaliknya.
“Perang, semula selalu kuanggap sebagai pertempuran antara benar dan
salah. Lama kurenungi ternyata perang tidak lebih hanyalah sebuah benturan
antara dua pihak dengan kepentingan berseberangan. Cukuplah aku terlibat hanya
pada satu perang besar.”
Sampai pada akhir hidupnya (versi buku ini), Hanoman masih dihadapkan
kembali pada perang besar, bukan Bharatayuda, namun jauh lagi, masa setelah
Parikesit. Hanoman memang miliki keistimewaan bangsa dewa yaitu bisa memilih
jalan kematiannya sehingga ia menjadi saksi perang-perang besar.
Selain menceritakan tentang Hanoman, hal lain yang menarik dari novel
ini adalah kisah persaudaraan Rahwana/Dasamuka dengan adik-adiknya. Ikatan yang
begitu kuat dan juga kisah mereka begitu mencuri perhatian pembaca hingga
sampai Wibisana, adik paling kecil Rahwana menyebarang ke pihak musuh. Hanoman
pun begitu menyadari tingkah polah mereka merupakan perwujudan dari watak
sejati seorang kesatria. Merubah pandangan Hanoman tentang mereka semua.
Novel ini mengajarkan banyak hal pada pembaca. Tidak hanya makna
kebenaran sejati, perjuangan, dan juga pengabdian namun juga sarat akan pesan
bahwa pertikaian dan peperangan tidak hanya berdampak pada diri sendiri namun
juga banyak pihak yang kadang tidak berkepentingan di dalamnya. Sebuah ajaran
yang ditulis dengan lugas dan dalam bahasa yang mudah di pahami. Cocok untuk
semua golongan pembaca pada umumnya karena buku ini memiliki olah kautaman atau
kita menyebutnya pendidikan karakter yang baik.
Sebuah penutup dari buku ini yang membuat saya begitu memahami apa yang
ingin di sampaikan oleh penulis. Sebuah percakapan Hanoman dengan Batara Kala
yang berakhir dengan kesimpulan:
“Bangsa manusia diciptakan memiliki kebaikan. Mereka dicipta begitu
mulia. Mereka hanya akan menjadi sebuah keburukan atas pilihannya sendiri. Atas
kemauannya sendiri. Mereka sendiri yang akan mengingatkan jalan kehidupan
mereka sendiri. Mereka mampu bila mereka mau”(hal. 467)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar