Oke… hari yang sungguh sangat melelahkan setelah seharian ini aku memulai hari-hari yang panjang dengan kembali ke bangku sekolah baruku. SMA, tidak bisa dipercaya bahwa kini aku sudah berada di jenjang yang begitu sangat diimpikan bagi semua anak SMP. Sudah tiga bulan berlalu semenjak hari MOS yang membuat siapa saja seangkatan denganku bergidik mengingatnya.
Terlentang dengan sempurna sudah tubuhku di atas kasur berukuran 100×200 cm itu. Sempat pula kupandang jam dinding yang menunjukkan jam 3 sore dan HP yang membisu terdiam seribu bahasa. Kuhirup nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan kembali dengan penuh penghayatan pula. Kembali kutengok HP itu sebelum aku beranjak untuk menganti baju seragam yang kini sudah tak lagi rapi seperti tadi pagi, tapi begitu kusut dan terlihat acak-acakan. Tapi, keadaannya tak begitu berbeda jauh dari semula hanya saja sedikit perubahan pada batrai yang semakin lama kian berwarna merah.
Dengan malas aku berjalan ke kamar mandi sambil menenteng celana jins dan kaos hitam kesayanganku. Sungguh nyaman air dingin yang melimpah ruah di kamar mandi. Sejuk, segar, dan menentramkan hati. Oh… ingin rasanya aku mandi dan benar juga. Keinginanku mengalahkan rasa malasku dan tara… aku tersenyum sambil menghembuskan nafas dari mulutku untuk menghangatkan tubuhku.
Kini HP ku benar-benar tak sesepi sebelumnya. Satu buah pesan tepampang rapi di sana. Sudut bibirku terangkat dan senyum manis menghiasi wajahku seketika itu juga. Seseorang yang semenjak dua hari lalu selalu menemaniku dan membuat hari-hariku begitu ramai dengan deringan HP yang tak berhenti setiap menit itu. Entah siapa aku nggak tau, tapi yang pasti aku merasa dia bukanlah orang yang jauh dariku. Bahkan aku seakan begitu mengenalnya dan sebaliknya.
Kini deringan ringtone itu berdecit lebih lama dari sebelumnya. Terlihat di layarnya tulisan “DeKa calling” sesegera mungkin kuraih dan menjawabnya.
“Hai… Ya…ya… sore…” ucapku saat itu juga tanpa mengurangi keceriaan yang meledak ria dalam hatiku.
“Sore juga Ra… gi apa?” suara agak cempreng diujung sana tetaplah terdengar merdu di pendengaranku.
“Nggak ngapa-ngapain….Eh, hari ini gue kosong nie… kapan lo nepatin janji lo?” tagihku setelah teringat janjianya kemarin. Aku ingin sekali melihat wajahnya dengan jelas setelah ia mengaku kalau ia satu sekolahan denganku.
“Hari ini juga bisa kok… lo udah mandi lom? Gue nggak mau kalau sampai sana ntar ada bau nggak sedap bertebaran sana sini” guraunya yang tak lucu itu.
“Ye… gue sih udah! Nggak tau kalau lo belum…” balasku.
“Heh… tau aja lo kalau gue belum mandi…hehe…”
“Nah kan? Apa gue bilang. Nggak maulah lok belum mandi…”
“Nggak-nggak bercanda. Oke dalam lima menit aku sampai ke rumah mu… bye…” dan KLIK. Suara telepon ditutup sebelum aku membalas salam terakhirnya sebelum mati. Eh salah sebelum teleponnya mati.
Aku masih berfikir dalam waktu yang sesingkat itu benarkah ia dapat mencapai rumahku yang hampir di puncak gunung ini. Tapi, entahlah atau whatever sama aja, yang penting aku ingin segera tau siapa dia sebenarnya dan banyak pula pertanyaan yang ingin kuajukan untukya. Dengan perlahan aku beranjak dari kamar tidur untuk menunggunya di depan rumah setelah menyisir rambutku lalu mengacaknya asal sekali lagi.
“Kira!” belum sampai aku selesai duduk dengan nyaman dan komik terbaru yang ada di tanganku belum sempat terbaca, aku sudah mendengar panggilan merdu yang rada-rada cempreng terdengar di telingaku. Sedikit ragu dan kaget perlahan aku mengangkat kepala. Aku menatap sosok yang begitu asing di mataku. Tubuhnya yang lumayan tinggi, rambutnya yang bermodel spike, dan wajah oval yang tersenyum manis itu membuatku terpaku begitu saja.
“Kira… kenapa sih lo? Kesambet setan dari mana?” tanyanya. Aku sempat terkejut dan secepat dan sebiasa mungkin aku menutupi kegugupanku itu. Tapi, begitu bodohnya aku ketika tanpa sadar aku menjawab pertanyaan konyol yang diajukannya.
“Setan dari surga…” mataku meredup dan hatiku berdisko mania saat itu juga, namun kenikmatan itu berakhir begitu saja ketika aku melihat wajahnya berubah bingung. Saat itu juga aku tersadar, “ah nggak…bercanda… kok dah sampai? Cepet amat naek helikopter ya?”
“Iya… naek helikopter! Mikir dong mbak, liat noh pakek itu… “ ia menunjukkan motor yang lumanyan keren itu berdiri di sana. ”Lagian… rumah Cuma 500 M dari sini nggak nyadar juga. Parah amat sih lo…Ra?” lanjutnya gemas.
“Maaf-maaf gue lupa beneran… tapi kayaknya gue beneran lupa sama lo deh Ka…” aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali itu.
“Yah… Kira! Masak lo lupa sama gue sih… ya Tuhan, kasihanilah aku… jatuhkan durian di atas kepalanya agar setidaknya ia ingat wajahku….”
“Maaf banget Ka…” aku memohon agar ia tak marah pada kebodohanku ini.
“Oke… ngomong-ngomong, lo kehabisan tempat duduk ya? Tau gitu tadi dari rumah gue bawa kursi sendiri…” keluhnya lagi.
“Ah, iya gue lupa. Duduk deh… “ aku menggeser posisiku agar ia dapat duduk di sampingku. Perlahan tapi pasti ia menjatuhkan tubuhnya di sana. Begitu nyaman wajahnya saat aku memandangnya. Oh, astaga… apa yang sebenarnya yang terjadi padaku. Kenapa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, kenapa tanganku berkeringat, kenapa aku bingung apa yang sebaiknya aku lakukan, kenapa aku begitu nyaman berada di dekatnya. Jangan-jangan…
“Ra… lo beneran parah banget sampai nggak inget ma gue, lo pernah jatuh dari sepeda atau apa kek misalnya ketendang sapi, sampai-sampai lo ilang ingatan kayak gini?” tanyanya yang begitu nggak masuk akal.
“Maksud lo?” aku penasaran.
“Nggak lupakan, masak lo nggak ingat sih? Padahal kita dulu sering maen bola bareng. Lo inget sama yang namanya Riky?” tanyanya. Aku mencoba mengingat-ingat teman-teman SD-ku dulu. Dan ingatlah sudah pada yang namanya Riky itu.
“Oh yang rumahnya di desa sebelah?”
“Yup… lo inget?” Deka bersemangat.
“Inget…itu kan yang orangnya item, dekil, pendek, kurus kayak cacingan, nyebelin, usil, rambutnya nantang langit dan sering ngerjain gue itu kan…dia apanya lo Ka? Eh, lo kenapa Ka?” aku menghentikan ocehanku ketika kulihat wajah Deka berubah dari yang semangat menjadi lemes.
“Kira, orang yang item, dekil, pendek, kurus kayak cacingan, nyebelin, usil, rambutnya nantang langit dan sering ngerjain lo itu… “ ia meghentikan ucapannya.
“Iya apa?” aku mulai bersemangat.
“Itu GUE! KIRA!!” teriaknya kesal.
Dengan sangat malu aku merosot ke lantai dan bingung. Aku mau ketawa tapi nggak enak… akhirnya setelah aku pikir-pikir, aku nyengir kuda setelah kembali ke posisi awal.
“Apa?” tanyanya sedikit ketus.
“Hehe… Sorry! Gue nggak tau…” masih dengan senyum tanpa dosa aku memandangnya. Tapi raut wajahnya tak berubah itu membuatku merasa benar-benar bersalah, “ Aaaa… Deka maafin gue….” rengekku. Dia benar-benar kejam membiarkan aku merengek-rengek padanya selama 15 menit dan sehabis itu ia tersenyum jahil sambil mengacak rambutku gemas. Seyumnya begitu indah dan menyihir hatiku untuk selamanya.
“Hei, gue harus pulang. Thanks buat hari ini… permisi my crazy princess!” pamitnya sambil meninggalkan senyum indahnya untukku.
“Hoi… gue nggak gila!” teriakku sebelum ia menghilang dalam gelapnya malam. Semejak hari itu aku sudah memautkan hatiku untunya selamanya. Entah sampai kapan rasa ini akan tetap tersimpan di sana. Sekolah yang aku huni ini semakin terasa begitu sempit sehingga di setiap sudut sekolah aku bisa menemukannya. Ia tak pernah menghilangkan senyum manisnya itu untukku. Senyum dan semua perhatian yang membesarkan harapanku. Hingga aku tak tau sampai mana rasa itu meluap dan memenuhi samudra dunia.
“Kira!!!” panggilnya lantang di sore ini. Ia terasa begitu berbeda dan terasa asing di hatiku. Bukan seperti dirinya sendiri.
“Iya ada apa Deka?! Ngapain sih lo… tumben-tubenan lo datang tanpa diundang kayak gini dan tentunya pulangnya nggak aku antar dong…” ocehku asal.
“Hehe… sejak kapan gue berubah sel jadi jalangkung. Kena mutasi otak dari mana lo?” ia duduk asal di sofa rumah tanpa menunggu perintah setia dariku.
“Haha… iya. Mutasi otak… keren juga tuh!”
“Ra… sebenernya gue pengen ngomong kalau lo tuh begitu lucu, langka, baik banget lagi ma gue…” nadanya merendah, serendah mungkin.
“Maksud lo? Kayaknya lo neh deh hari ini…”
“Hem… nggak kok! Gue cuma pengen bilang kayak gitu ke elo… lo kayak adik gue beneran dan tau nggak temen-temen gue pada nyangka kalau kita kakak adik. Padahal udah puluhan bahkan sampai capek aku mendengarnya dan menjelaskannya. Hahaha…. Lucu ya?” aku tak menjawab pertanyaan yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban itu. Tiba-tiba sebuah SMS menolongku dari kebisuan diantara kami. Namun, sayangnya SMS itu justru sebagai boomerang yang menghancurkan hatiku. Dadaku sesak seakan paru-paru ini terisi oleh banyak CO2 yang siap membunuhku seketika itu juga. Mataku terasa panas dan air mata ini seakan sudah tak sanggup untuk menahannya.
“Kira… lo kenapa?” serta-merta ia merebut HP yang ada di tanganku lalu membaca SMS itu. Oh tidak, betapa hancurnya harga diriku jika aku sampai menangis di hadapannya.
“Kami udah putus kok Ra…” ucapnya perlahan dan tanpa ada semangat.
“Terus kalau kalian udah putus itu berarti aku senang? Apa ini ada hubungannya dengaku Ka?” aku mulai menanyainya. Apakan tujuannya yang seberanya ini.
“Nggak Ra… nggak ada…”
“Kamu boong! Nggak mungkin dia sampai ngomong gitu kalau nggak ada sangkut pahutnya denganku…” aku mulai mengatur emosiku dan meletakkan tubuhku perlahan.
“Iya… tapi sudahlah… lagian aku juga udah putus sama dia. Nggak usah di bahas lagi…” ia mencoba menenangkan diriku.
“Mending kamu pulang aja Ka… aku capek menerima semua keyataan ini. Aku nggak tau apa yang harus aku rasakan… di sisi lain sedih kamu udah punya pacar dan menganggapku hanya sebagai adik tapi di sisi lain aku juga senang kamu putus sama dia, kerena aku nggak suka dia. Maafkan aku… aku… sayang sama kamu melebihi sayangku sama diriku sendiri… kamu pulang ya Ka…” aku menundukkan kepala mencoba menghentikan agar tangisku tak meledak di hadapnnya. Tapi terlambat. Air mata sialan itu mengalir di saat itu juga. Aku tak berani mengangkat kepalaku untuk memandang wajahnya.
“Ya… udah. Aku pulang… dah Kira…” ia mengucapkannya sambil membelai rambutku pelan. Ucapan yang sungguh sangat perih dirasakan setiap manusia. Aku memandang punggungnya yang menghilang dalam gelapnya malam. Kulihat bintang dilangit begitu terang dan bertaburan bagaikan titik-titik cahaya yang tiada habisnya. Air mataku kembali mengalir menelusuri pipiku. Oh…Tuhan kenapa harus ini yang terjadi padaku?
Aku tak tahu ini semua awal dari hancurnya segalanya. Hari itu adalah terakhir aku berbicara dengannya. Hari itu adalah hari terakhir aku melihat senyumnya. Begitu menyesakkan ketika aku berjumpa dengannya bukan senyuman melainkan wajahnya yang tertnduk dan kadang memandangku begitu dingin. Serasa aku sendirian di dunia ini. Menyesalah aku karena hari itu mengusirmu pergi dari rumahku, andaikan saja waktu itu dapat kuulang kembali, hal yang aku lakukan hanyalah meminta maaf padamu. Sekarang kata maaf sudah tak lagi berarti bagiku dan baginya. Maafku tak bisa mengembalikannya ke sisiku.
Deka… andai kau tau, perasaanku dulu, satu setengah musim yang aku lalui tanpamu, dan musim-musim yang akan datang kelak itu tak akan pernah mengubah rasa sayangku dan cintaku padamu. Hanya engkau yang akan selalu di hatiku. Sampai aku sudah tak sanggup untuk bertahan, sampai aku tak sanggup untuk mengingatmu, sampai aku lupa akan dirimu. Tapi, itu tak akan terjadi karena engkau singgah di hati selamanya. Tak perduli enkau membenciku dan tak mengenalku lagi…
Maaf Deka… tapi hanya enkau lah penerang jalanku hingga aku masih tetap bisa berdiri di sini memandang langit yang sama seperti waktu itu. Bintang bertaburan indah di langit dan bayangan senyummu terukir rapi dan menawan di sana.
“Kira… udah hampir tengah malam, kamu jangan sampai ketiduran di situ dong, Sayang…” panggil Bunda seraya menghampiriku yang terlentang di atas mobil hitam kesayangan kakakku.
“Ya, Bunda….” aku turun dari sana dan sebelum aku benar-benar menutup pintu rumahku aku berbalik lagi untuk melakukan ritualku setiap malam, “selamat malam bintang, semoga doaku yang aku ukir bersamamu sampai ke padanya….karena hanya dia yang menjadi Bintangku untuk selamnya.”
Terlentang dengan sempurna sudah tubuhku di atas kasur berukuran 100×200 cm itu. Sempat pula kupandang jam dinding yang menunjukkan jam 3 sore dan HP yang membisu terdiam seribu bahasa. Kuhirup nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan kembali dengan penuh penghayatan pula. Kembali kutengok HP itu sebelum aku beranjak untuk menganti baju seragam yang kini sudah tak lagi rapi seperti tadi pagi, tapi begitu kusut dan terlihat acak-acakan. Tapi, keadaannya tak begitu berbeda jauh dari semula hanya saja sedikit perubahan pada batrai yang semakin lama kian berwarna merah.
Dengan malas aku berjalan ke kamar mandi sambil menenteng celana jins dan kaos hitam kesayanganku. Sungguh nyaman air dingin yang melimpah ruah di kamar mandi. Sejuk, segar, dan menentramkan hati. Oh… ingin rasanya aku mandi dan benar juga. Keinginanku mengalahkan rasa malasku dan tara… aku tersenyum sambil menghembuskan nafas dari mulutku untuk menghangatkan tubuhku.
Kini HP ku benar-benar tak sesepi sebelumnya. Satu buah pesan tepampang rapi di sana. Sudut bibirku terangkat dan senyum manis menghiasi wajahku seketika itu juga. Seseorang yang semenjak dua hari lalu selalu menemaniku dan membuat hari-hariku begitu ramai dengan deringan HP yang tak berhenti setiap menit itu. Entah siapa aku nggak tau, tapi yang pasti aku merasa dia bukanlah orang yang jauh dariku. Bahkan aku seakan begitu mengenalnya dan sebaliknya.
Kini deringan ringtone itu berdecit lebih lama dari sebelumnya. Terlihat di layarnya tulisan “DeKa calling” sesegera mungkin kuraih dan menjawabnya.
“Hai… Ya…ya… sore…” ucapku saat itu juga tanpa mengurangi keceriaan yang meledak ria dalam hatiku.
“Sore juga Ra… gi apa?” suara agak cempreng diujung sana tetaplah terdengar merdu di pendengaranku.
“Nggak ngapa-ngapain….Eh, hari ini gue kosong nie… kapan lo nepatin janji lo?” tagihku setelah teringat janjianya kemarin. Aku ingin sekali melihat wajahnya dengan jelas setelah ia mengaku kalau ia satu sekolahan denganku.
“Hari ini juga bisa kok… lo udah mandi lom? Gue nggak mau kalau sampai sana ntar ada bau nggak sedap bertebaran sana sini” guraunya yang tak lucu itu.
“Ye… gue sih udah! Nggak tau kalau lo belum…” balasku.
“Heh… tau aja lo kalau gue belum mandi…hehe…”
“Nah kan? Apa gue bilang. Nggak maulah lok belum mandi…”
“Nggak-nggak bercanda. Oke dalam lima menit aku sampai ke rumah mu… bye…” dan KLIK. Suara telepon ditutup sebelum aku membalas salam terakhirnya sebelum mati. Eh salah sebelum teleponnya mati.
Aku masih berfikir dalam waktu yang sesingkat itu benarkah ia dapat mencapai rumahku yang hampir di puncak gunung ini. Tapi, entahlah atau whatever sama aja, yang penting aku ingin segera tau siapa dia sebenarnya dan banyak pula pertanyaan yang ingin kuajukan untukya. Dengan perlahan aku beranjak dari kamar tidur untuk menunggunya di depan rumah setelah menyisir rambutku lalu mengacaknya asal sekali lagi.
“Kira!” belum sampai aku selesai duduk dengan nyaman dan komik terbaru yang ada di tanganku belum sempat terbaca, aku sudah mendengar panggilan merdu yang rada-rada cempreng terdengar di telingaku. Sedikit ragu dan kaget perlahan aku mengangkat kepala. Aku menatap sosok yang begitu asing di mataku. Tubuhnya yang lumayan tinggi, rambutnya yang bermodel spike, dan wajah oval yang tersenyum manis itu membuatku terpaku begitu saja.
“Kira… kenapa sih lo? Kesambet setan dari mana?” tanyanya. Aku sempat terkejut dan secepat dan sebiasa mungkin aku menutupi kegugupanku itu. Tapi, begitu bodohnya aku ketika tanpa sadar aku menjawab pertanyaan konyol yang diajukannya.
“Setan dari surga…” mataku meredup dan hatiku berdisko mania saat itu juga, namun kenikmatan itu berakhir begitu saja ketika aku melihat wajahnya berubah bingung. Saat itu juga aku tersadar, “ah nggak…bercanda… kok dah sampai? Cepet amat naek helikopter ya?”
“Iya… naek helikopter! Mikir dong mbak, liat noh pakek itu… “ ia menunjukkan motor yang lumanyan keren itu berdiri di sana. ”Lagian… rumah Cuma 500 M dari sini nggak nyadar juga. Parah amat sih lo…Ra?” lanjutnya gemas.
“Maaf-maaf gue lupa beneran… tapi kayaknya gue beneran lupa sama lo deh Ka…” aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali itu.
“Yah… Kira! Masak lo lupa sama gue sih… ya Tuhan, kasihanilah aku… jatuhkan durian di atas kepalanya agar setidaknya ia ingat wajahku….”
“Maaf banget Ka…” aku memohon agar ia tak marah pada kebodohanku ini.
“Oke… ngomong-ngomong, lo kehabisan tempat duduk ya? Tau gitu tadi dari rumah gue bawa kursi sendiri…” keluhnya lagi.
“Ah, iya gue lupa. Duduk deh… “ aku menggeser posisiku agar ia dapat duduk di sampingku. Perlahan tapi pasti ia menjatuhkan tubuhnya di sana. Begitu nyaman wajahnya saat aku memandangnya. Oh, astaga… apa yang sebenarnya yang terjadi padaku. Kenapa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, kenapa tanganku berkeringat, kenapa aku bingung apa yang sebaiknya aku lakukan, kenapa aku begitu nyaman berada di dekatnya. Jangan-jangan…
“Ra… lo beneran parah banget sampai nggak inget ma gue, lo pernah jatuh dari sepeda atau apa kek misalnya ketendang sapi, sampai-sampai lo ilang ingatan kayak gini?” tanyanya yang begitu nggak masuk akal.
“Maksud lo?” aku penasaran.
“Nggak lupakan, masak lo nggak ingat sih? Padahal kita dulu sering maen bola bareng. Lo inget sama yang namanya Riky?” tanyanya. Aku mencoba mengingat-ingat teman-teman SD-ku dulu. Dan ingatlah sudah pada yang namanya Riky itu.
“Oh yang rumahnya di desa sebelah?”
“Yup… lo inget?” Deka bersemangat.
“Inget…itu kan yang orangnya item, dekil, pendek, kurus kayak cacingan, nyebelin, usil, rambutnya nantang langit dan sering ngerjain gue itu kan…dia apanya lo Ka? Eh, lo kenapa Ka?” aku menghentikan ocehanku ketika kulihat wajah Deka berubah dari yang semangat menjadi lemes.
“Kira, orang yang item, dekil, pendek, kurus kayak cacingan, nyebelin, usil, rambutnya nantang langit dan sering ngerjain lo itu… “ ia meghentikan ucapannya.
“Iya apa?” aku mulai bersemangat.
“Itu GUE! KIRA!!” teriaknya kesal.
Dengan sangat malu aku merosot ke lantai dan bingung. Aku mau ketawa tapi nggak enak… akhirnya setelah aku pikir-pikir, aku nyengir kuda setelah kembali ke posisi awal.
“Apa?” tanyanya sedikit ketus.
“Hehe… Sorry! Gue nggak tau…” masih dengan senyum tanpa dosa aku memandangnya. Tapi raut wajahnya tak berubah itu membuatku merasa benar-benar bersalah, “ Aaaa… Deka maafin gue….” rengekku. Dia benar-benar kejam membiarkan aku merengek-rengek padanya selama 15 menit dan sehabis itu ia tersenyum jahil sambil mengacak rambutku gemas. Seyumnya begitu indah dan menyihir hatiku untuk selamanya.
“Hei, gue harus pulang. Thanks buat hari ini… permisi my crazy princess!” pamitnya sambil meninggalkan senyum indahnya untukku.
“Hoi… gue nggak gila!” teriakku sebelum ia menghilang dalam gelapnya malam. Semejak hari itu aku sudah memautkan hatiku untunya selamanya. Entah sampai kapan rasa ini akan tetap tersimpan di sana. Sekolah yang aku huni ini semakin terasa begitu sempit sehingga di setiap sudut sekolah aku bisa menemukannya. Ia tak pernah menghilangkan senyum manisnya itu untukku. Senyum dan semua perhatian yang membesarkan harapanku. Hingga aku tak tau sampai mana rasa itu meluap dan memenuhi samudra dunia.
“Kira!!!” panggilnya lantang di sore ini. Ia terasa begitu berbeda dan terasa asing di hatiku. Bukan seperti dirinya sendiri.
“Iya ada apa Deka?! Ngapain sih lo… tumben-tubenan lo datang tanpa diundang kayak gini dan tentunya pulangnya nggak aku antar dong…” ocehku asal.
“Hehe… sejak kapan gue berubah sel jadi jalangkung. Kena mutasi otak dari mana lo?” ia duduk asal di sofa rumah tanpa menunggu perintah setia dariku.
“Haha… iya. Mutasi otak… keren juga tuh!”
“Ra… sebenernya gue pengen ngomong kalau lo tuh begitu lucu, langka, baik banget lagi ma gue…” nadanya merendah, serendah mungkin.
“Maksud lo? Kayaknya lo neh deh hari ini…”
“Hem… nggak kok! Gue cuma pengen bilang kayak gitu ke elo… lo kayak adik gue beneran dan tau nggak temen-temen gue pada nyangka kalau kita kakak adik. Padahal udah puluhan bahkan sampai capek aku mendengarnya dan menjelaskannya. Hahaha…. Lucu ya?” aku tak menjawab pertanyaan yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban itu. Tiba-tiba sebuah SMS menolongku dari kebisuan diantara kami. Namun, sayangnya SMS itu justru sebagai boomerang yang menghancurkan hatiku. Dadaku sesak seakan paru-paru ini terisi oleh banyak CO2 yang siap membunuhku seketika itu juga. Mataku terasa panas dan air mata ini seakan sudah tak sanggup untuk menahannya.
“Kira… lo kenapa?” serta-merta ia merebut HP yang ada di tanganku lalu membaca SMS itu. Oh tidak, betapa hancurnya harga diriku jika aku sampai menangis di hadapannya.
“Kami udah putus kok Ra…” ucapnya perlahan dan tanpa ada semangat.
“Terus kalau kalian udah putus itu berarti aku senang? Apa ini ada hubungannya dengaku Ka?” aku mulai menanyainya. Apakan tujuannya yang seberanya ini.
“Nggak Ra… nggak ada…”
“Kamu boong! Nggak mungkin dia sampai ngomong gitu kalau nggak ada sangkut pahutnya denganku…” aku mulai mengatur emosiku dan meletakkan tubuhku perlahan.
“Iya… tapi sudahlah… lagian aku juga udah putus sama dia. Nggak usah di bahas lagi…” ia mencoba menenangkan diriku.
“Mending kamu pulang aja Ka… aku capek menerima semua keyataan ini. Aku nggak tau apa yang harus aku rasakan… di sisi lain sedih kamu udah punya pacar dan menganggapku hanya sebagai adik tapi di sisi lain aku juga senang kamu putus sama dia, kerena aku nggak suka dia. Maafkan aku… aku… sayang sama kamu melebihi sayangku sama diriku sendiri… kamu pulang ya Ka…” aku menundukkan kepala mencoba menghentikan agar tangisku tak meledak di hadapnnya. Tapi terlambat. Air mata sialan itu mengalir di saat itu juga. Aku tak berani mengangkat kepalaku untuk memandang wajahnya.
“Ya… udah. Aku pulang… dah Kira…” ia mengucapkannya sambil membelai rambutku pelan. Ucapan yang sungguh sangat perih dirasakan setiap manusia. Aku memandang punggungnya yang menghilang dalam gelapnya malam. Kulihat bintang dilangit begitu terang dan bertaburan bagaikan titik-titik cahaya yang tiada habisnya. Air mataku kembali mengalir menelusuri pipiku. Oh…Tuhan kenapa harus ini yang terjadi padaku?
Aku tak tahu ini semua awal dari hancurnya segalanya. Hari itu adalah terakhir aku berbicara dengannya. Hari itu adalah hari terakhir aku melihat senyumnya. Begitu menyesakkan ketika aku berjumpa dengannya bukan senyuman melainkan wajahnya yang tertnduk dan kadang memandangku begitu dingin. Serasa aku sendirian di dunia ini. Menyesalah aku karena hari itu mengusirmu pergi dari rumahku, andaikan saja waktu itu dapat kuulang kembali, hal yang aku lakukan hanyalah meminta maaf padamu. Sekarang kata maaf sudah tak lagi berarti bagiku dan baginya. Maafku tak bisa mengembalikannya ke sisiku.
Deka… andai kau tau, perasaanku dulu, satu setengah musim yang aku lalui tanpamu, dan musim-musim yang akan datang kelak itu tak akan pernah mengubah rasa sayangku dan cintaku padamu. Hanya engkau yang akan selalu di hatiku. Sampai aku sudah tak sanggup untuk bertahan, sampai aku tak sanggup untuk mengingatmu, sampai aku lupa akan dirimu. Tapi, itu tak akan terjadi karena engkau singgah di hati selamanya. Tak perduli enkau membenciku dan tak mengenalku lagi…
Maaf Deka… tapi hanya enkau lah penerang jalanku hingga aku masih tetap bisa berdiri di sini memandang langit yang sama seperti waktu itu. Bintang bertaburan indah di langit dan bayangan senyummu terukir rapi dan menawan di sana.
“Kira… udah hampir tengah malam, kamu jangan sampai ketiduran di situ dong, Sayang…” panggil Bunda seraya menghampiriku yang terlentang di atas mobil hitam kesayangan kakakku.
“Ya, Bunda….” aku turun dari sana dan sebelum aku benar-benar menutup pintu rumahku aku berbalik lagi untuk melakukan ritualku setiap malam, “selamat malam bintang, semoga doaku yang aku ukir bersamamu sampai ke padanya….karena hanya dia yang menjadi Bintangku untuk selamnya.”
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar